1. Putusan
Nomor I/PUU-I/2003 (Ketenagalistrikan):
Perkataan
“dikuasai oleh negara” haruslah
diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber
dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber
kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian
kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan
dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan
mandat kepada negara untuk mengadakan
kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan
(regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad)
untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh
pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas
perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad)
dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan
regulasi oleh Pemerintah (eksekutif). Fungsi
pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham
(share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan
Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan
melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas
sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan
oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah
dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh
negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup
orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
seluruh rakyat;
Menimbang
bahwa di samping itu, untuk menjamin prinsip
efisiensi berkeadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4) UUD
1945, yang menyatakan, “perekonomian
nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional“, maka penguasaan dalam arti pemilikan privat itu juga harus
dipahami bersifat relatif dalam arti tidak mutlak selalu harus 100%, asalkan
penguasaan oleh negara c.q. Pemerintah atas pengelolaan sumber-sumber kekayaan
dimaksud tetap terpelihara sebagaimana mestinya. Meskipun Pemerintah hanya
memiliki saham mayoritas relatif, asalkan tetap menentukan dalam proses
pengambilan keputusan atas penentuan kebijakan dalam badan usaha yang
bersangkutan, maka divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah
dalam badan usaha milik negara yang bersangkutan tidak dapat dianggap
bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat,
ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi, sepanjang privatisasi
itu tidak meniadakan penguasaan negara c.q. Pemerintah untuk menjadi penentu
utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau
menguasai hajat hidup orang banyak. Pasal 33 UUD 1945 juga tidak menolak ide
kompetisi di antara para pelaku usaha, sepanjang kompetisi itu tidak meniadakan
penguasaan oleh negara yang mencakup kekuasaan untuk mengatur (regelendaad), mengurus
(bestuursdaad), mengelola
(beheersdaad), dan mengawasi
(toezichthoudensdaad) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan/atau yang mengusai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesarbesarnya
kemakmuran rakyat;
Menimbang
bahwa Mahkamah berpendapat pembuat undang-undang juga menilai bahwa tenaga
listrik hingga saat ini masih merupakan cabang produksi yang penting bagi
negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga oleh karenanya menurut
pasal 33 ayat (2) UUD 1945 harus tetap dikuasai oleh negara, dalam arti harus
dikelola oleh negara melalui perusahaan negara yang didanai oleh pemerintah
(negara) atau dengan kemitraan bersama swasta nasional atau asing yang
menyertakan dana pinjaman dari dalam dan luar negeri atau dengan melibatkan
modal swasta nasional/asing dengan sistem kemitraan yang baik dan saling
menguntungkan. Hal ini berarti bahwa hanya BUMN yang boleh mengelola usaha tenaga
listrik, sedangkan perusahaan swasta nasional atau asing hanya ikut serta
apabila diajak kerjasama oleh BUMN, baik dengan kemitraan, penyertaan saham,
pinjaman modal dan lain-lain. Persoalannya adalah apakah yang dimaksud dengan
perusahaan negara pengelola tenaga listrik hanyalah BUMN, dalam hal ini PLN,
ataukah bisa dibagi dengan perusahaan negara yang lain, bahkan dengan
perusahaan daerah (BUMD) sesuai dengan semangat otonomi daerah? Mahkamah
berpendapat, jika PLN memang masih mampu dan bisa lebih efisien, tidak ada
salahnya jika tugas itu tetap diberikan kepada PLN, tetapi jika tidak, dapat
juga berbagi tugas dengan BUMN lainnya atau BUMD dengan PLN sebagai “holding
company”.
2. Putusan
Nomor 85/PUU-XI/2013 (Sumber Daya Air):
Mengenai hak
warganegara atas air yang berdasarkan putusan tersebut bersesuaian dengan Pasal
33 UUD 1945. Dalam Putusan 85/PUU-XI/2013
liberalisasi dihapuskan dengan kriteria-kriteria yaitu: pertama bahwa setiap
pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu, mengesampingkan, apalagi
meniadakan hak rakyat atas air, kedua adalah Negara harus memenuhi
hak rakyat atas air, ketiga kelestarian lingkungan hidup,
keempat
terkait pengawasan dan pengendalian oleh Negara atas air sifatnya
mutlak dan yang kelima adalah terkait prioritas utama yang diberikan
pengusahaan atas air adalah BUMN atau BUMD. Apabila setelah semua pembatasan
tersebut sudah terpenuhi dan ternyata masih ada ketersediaan air, Pemerintah
masih dimungkinkan untuk memberikan izin kepada usaha swasta untuk melakukan
pengusahaan atas air dengan syarat-syarat tertentu dan ketat. Putusan tersebut
jelas telah memberikan perlindungan hak asasi dalam hal mendapatkan air untuk
sebesar-sebesar kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat konstitusi. Putusan
tersebut berkenaan dengan penegakkan hukum dan hak-hak dasar warganegara.
3. Putusan
Nomor 36/PUU-X/2012 (MIGAS):
Mahkamah
dalam pendapat Mahkamah kemudian menegaskan tentang makna “penguasaan Negara”
terhadap sektor MIGAS yaitu meliputi kebijakan (beleid),
tindakan pengurusan (bestuurdaad), pengaturan
(regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) yang kelimanya merupakan satu
kesatuan rangkaian. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan
oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas
perijinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (consessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad)
dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan
regulasi oleh Pemerintah. Fungsi pengelolaan
(beheersdaad) dilakukan melalui
mekanisme pemilikan saham (share-holding)
dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan 99 Usaha Milik
Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan, yang
melaluinya Negara, c.q. Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas
sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan
oleh negara (toezichthoudensdaad)
dilakukan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan
agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud
benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat. Kesemuanya tentu sejalan dengan dasar
konstitusional Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di
didalamnya dikuasai oleh Negara dan dikelola untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat”. Berdasarkan semua rangkaian pertimbangan hukum baik permasalahan
efektifitas, efisiensi dan kedudukan Negara dalam hal pengelolaan MIGAS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar