Kamis, 14 Mei 2015

KANTIN

baru saja rekan dari solo mengirim gambar kantin fh uns melalui telpon seluler.. langsung semua memori kembali ke masa2 dulu.. kantin.. tempat dimana wajah demi wajah mulai bertukar tawa.. mungkin saja ada masam di awal sapa.. tapi lambat laun canda menjadi menu utama di kantin fh mengalahkan masakan mami kantin yang harganya diatas rata2 kantong mahasiswa.. angin sepoi rindang pepohonan membuat kantin menjadi lebih nyaman ketimbang ruang kelas yang panas.. satu gitar saja cukup untuk hati ini bahagia berdendang bersama dibanding sajian perkuliahan yang membosankan.. entah berapa ribu gelas es teh manis dan batang rokok yang telah kami habiskan untuk sebuah permufakatan damai.. aq heran.. bisa saja  kita gunakan sepanjang waktu hanya untuk bercengkrama.. mulai dari urusan perempuan hingga permasalahan negara.. kantin adalah benar2 representasi demokrasi.. sebagai mimbar bebas semua bisa berpendapat dan semua layak menjadi pembicara.. dengan bergantian siapa yg menjadi moderator lepas.. hmmh.. selebihnya kata orang kita memang cuma sekumpulan mahasiswa krisis identitas.. ada yang iba dan bahkan prihatin melihat kita.. bukannya belajar ilmu hukum malah selonjoran diatas tikar kantin sambil tanpa panik kehilangan jam kuliah.. bukannya beradu konsep di organisasi sebagai aktivis.. eeeh malah suit2 centil menggoda adik tingkat.. hahaha.. dipandangnya kita sebelah mata.. sampai semua ide perubahan datang dari gelas demi gelas es teh manis.. konsep dan ide cemerlang muncul begitu saja tanpa diskusi formil.. mulut2 bau tembakau bisa saja kadang2 nyaringkan suara perbaikan.. tidak hanya hura2,, sering juga kita pikirkan masa depan.. cuma saja biar kamar kita masing2 yang tahu segopoh apa kita berjuang menjelang ujian.. yaap... kangen juga rasanya berbagi cerita.. dari kalian berandalan kampus.. begundal2 tak punya harapan katanya.. tapi satu hal yang aku masih yakin.. pena emas sudah disaku masing2 bukan? cuma saja kalian tak ingin perlihatkan.. sampai nanti kita buka api unggun lagi entah di klayar atau di siung.. dimana kita berbagi tulisan tentang bahagia.. hasil tulisan pena emas yang ada di saku kita masing2..

Senin, 04 Mei 2015

PERATURAN TENTANG PENODAAN AGAMA DI INDONESIA

Indonesia adalah Negara yang berlandaskan dengan falsafah Ketuhanan, hal tersebut dapat dilihat dalam Pancasila sebagai dasar Negara yang menempatkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada sila pertamanya. Hal demikian juga jelas termaktub dalam konstitusi, dimana dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “ Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian maka dapat kita pahami bersama bahwa segala sesuatu yang kita lakukan dalam kehidupan berbangsa dan Negara sebagai warga Negara tidak boleh menyimpang dari konteks “Ketuhanan”.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa kemudian diartikan secara mendalam oleh bangsa Indonesia sebagai perwujudan iman warga Negara yang di aplikasikan dalam koridor agama yang dianut. Indonesia mengakui 6 agama yang ada yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Kong hu cu. Negara menjamin kemerdekaan bagi warga Negara untuk menganut salah satu agama tersebut sesuai dengan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Dewasa ini, perkembangan mengenai keagamaan menjadi semakin beragam. Hal tersebut berangkat dari penafsiran dan pemahaman kelompok-kelompok tertentu di masyarakat mengenai frasa “kemerdekaan” dan “kepercayaan” dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Saat ini kita sama-sama ketahui bahwa bermunculan banyak sekali aliran kepercayaan di tengah-tengah masyarakat, baik aliran kepercayaan yang berbasis tradisi adat setempat maupun aliran-aliran yang “mengaku” sebagai perbaikan atau penyempurnaan dari ajaran 6 agama yang sah diakui Pemerintah seperti sudah dijelaskan di paragraf sebelumnya. Hal yang kemudian mengkhawatirkan adalah ketika tidak ada lagi pembatasan ideal mengenai pemahaman-pemahaman yang tumbuh di masyarakat. Akhirnya, akibat dari hal-hal tersebut adalah kegelisahan di masyarakat yang sedang memegang teguh ajaran agama yang sudah sesuai dengan yang diakui Negara. Rangkaian sebab yang demikianlah maka seringkali kita mendengar terjadi konflik dan gesekan antar warga masyarakat yang ditimbulkan karena perselisihan paham agama atau kepercayaan yang dianut.
Oleh karena keadaan tersebut, Negara kemudian berkewajiban untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul di tengah masyarakat ini. Terutama dalam hal penegakkan hukum mengenai hal terkait. Istilah yang populer di masyarakat terkait dengan fenomena banyak munculnya aliran-aliran kepercayaan dan/atau aliran-aliran “agama” yang dirasa menyimpang adalah “penodaan agama”. Negara, dalam hal ini Pemerintah saat ini sedang mengupayakan penegakkan hukum dari ketentuan-ketentuan yang sebenarnya sudah ada. Pengaturan mengenai Penodaan Agama di Indonesia diatur dalam KUHP:
Pasal 156a
Dipidana dengan pidana penjara selama-lumanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
            Pasal 156a kemudian juga dicantumkan dalam PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/PNPS TAHUN 1965 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA yang dinyatakan sebagai Undang-Undang karena adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang. Pasal 4 UU 1/PNPS/1965, menyatakan, ”Pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut: "Pasal 156a Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa."”
            Terkait dengan penegakkan hukum mengenai penodaan agama ini, ada beberapa contoh permasalahan yang muncul di masyarakat. Seperti dalam kasus perselisihan sunni dan syiah di Sampang, Madura, pada tahun 2011 lalu. Pada Tahun 2013, Mahkamah Agung (MA) menolak upaya hukum kasasi gembong syiah yang bernama Tajul Muluk yang disinyalir sebagai tokoh pemicu munculnya konflik tersebut. Alhasil, tokoh Syiah Sampang ini, harus tetap mendekam di penjara selama 4 tahun karena dakwaan penodaan agama. Perkara dengan nomor 1787 K/PID/2012 ini masuk klasifikasi penodaan agama. Duduk selaku ketua majelis hakim kasasi pada waktu itu adalah Prof Dr Hakim Nyak Pha dengan anggota hakim agung Sri Murwahyuni dan Dr Dudu D Machmudin. Sebelumnya, Pada 12 Juli 2012 Pengadilan Negeri (PN) Sampang telah menjatuhkan putusan dengan hukuman 2 tahun penjara atas dakwaan penodaan agama. Putusan ini diperberat menjadi 4 tahun seiring dengan keluarnya putusan banding Pengadilan Tinggi Surabaya pada 21 September 2012.
            Sebelumnya, contoh kasus mengenai penodaan agama terjadi pada tahun 1990 yaitu dalam kasus Arswendo Atmowiloto. Adalah Tabloid Monitor, tabloid dibawah Kelompok Penerbit Gramedia dengan Aswendo Atmowiloto menjabat sebagai pemimpin redaksi dan penanggung jawabnya. Tabloid Monitor dinilai menjadi pioner media berbentuk tabloid. Dalam setiap edisinya, Monitor menyelenggarakan angket berhadiah untuk pembaca. Angket diisi oleh pembaca dengan menempelkan kupon dan dikirim ke redaksi. Angket yang terpilih akan mendapatkan hadiah berupa uang. Salah satunya adalah angket berhadiah dengan pertanyaan, “Siapa tokoh yang anda kagumi dan apa alasannya memilih?” . Redaksi Monitor selanjutnya menyusun hasil angket berdasarkan jumlah yang paling banyak sampai yang paling buncit sebagai pilihan pembaca, lalu diumumkan di Tabloid Monitor edisi 15 Oktober 1990. Dari 50 nama yang teratas yang dikagumi, tercantum nama Nabi Muhammad pada urutan ke 11.
Hasil angket ini menyebabkan protes umat Islam. Arswendo dituding telah melecehkan Islam. Pada 17 Oktober 1990, massa datang sporadis, meneriakkan hujatan kepada Arswendo dan membakar habis patung Arswendo yang dibuat dari kertas tabloid Monitor. Dan pada 22 Oktober 1990, massa mengepung kantor Monitor. Mereka melempari kantor, menerobos ruang redaksi, mengaduk-aduk arsip, menghantam komputer, serta menjungkir-balikkan kursi dan meja.organ-organ berbasis angkatan muda Islam, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan kalangan Islam moderat menyudutkan dan meminta pertanggungjawaban Arswendo.
Akhirnya Arswendo sendiri menyatakan permemohonan maafnya secara terbuka, “Saya minta maaf. Sedikit pun saya tidak bermaksud menyengsarakan saudara-saudara semua.Tanpa ada yang memberi tahu pun, harusnya sudah tahu. Nyatanya saya bego. Sangat bego. Jahilun.” Kemudian Tabloid Monitor dilarang terbit. Pada 23 Oktober 1990, SIUPP nomor 194/1984 dicabut oleh Menteri Penerangan Harmoko dan PWI mencabut keanggotaan Aswendo sebagai wartawan. Aswendo didakwa melanggar Pasal 156a huruf a KUHP dan dipidana 5 (lima) tahun penjara. Majelis hakim menyatakan bahwa angket yang menyamakan Nabi Muhammad SAW dengan manusia biasa jelas merendahkan derajat Rasulullah. Perbuatan itu, terhitung suatu penghinaan (yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan) terhadap agama Islam dengan menggunakan penerbitan pers.
Ada beberapa pendapat ahli terkait dengan kasus Arswendo ini, Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, SH., MH. menyatakan bahwa Blasphemy (penghinaan terhadap agama) terkait erat Libel dengan yaitu penghinaan yang berakibat pada hak kehormatan dan nama baik pihak yang dirugikan sebagai akibat adanya pemberitaan tersebut, dimana pelanggaran atas rambu-rambu dari kebebasan pers Indonesia terlihat pada kasus tabloid Monitor tentang isi pemberitaan yang berjudul “10 Tokoh Populer”. Pada saat itu pemimpin redaksinya adalah Arswendo Atmowiloto yang didakwa secara kumulatif alternatif, yang pada pokoknya melanggar Pasal 156a KUHP.
Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Nomor 09/IV/Pid.B/1991/PN. JKT-PST tertanggal 8 April 1991, maka Arswenso Atmowiloto dinyatakan terbukti melanggar Pasal 156a KUHP dan pada akhirnya putusan ini dikuatkan oleh Mahkamah Agung sehingga memiliki kekuatan hukum yang tetap. Terlepas ada tidaknya polemik mengenai penerapan analogi hukum pada Pasal 156a KUHP, Arswendo Atmowiloto telah dinyatakan terbukti melakukan penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW, melalui isi pemberitaannya berdasakan putusan Mahkamah Agung.
Pelanggaran tabloid Monitor terletak pada soal Blasphemy yang terkait dengan masalah Libel (penghinaan). Memang ada perbedaan pandangan dalam masyarakat mengenai kasus ini. Aturan mengenai penghinaan terhadap Nabi tidak ada pengaturan secara tertulis dalam hukum pidana di Indonesia atau dikenal dengan nama asas legalitas, artinya suatu perbuatan tidak dapat dikenakan pemidanaan apabila tidak ada pengaturannya dalam hukum positif. Dalam kasus Arswendo Atmowiloto dipakailah suatu penafsiran ekstensif dimana mengacu pada Pasal 156a KUHP. Pasal 156a KUHP ini berlatar belakang dari gagasan yang berkembang dalam Seminar Hukum Nasional I yang terwujud dengan terbitnya UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Inilah awal kelahiran delik agama dalam pengertian delik terhadap agama di dalam KUHP, yang kemudian mempengaruhi rumusan RUU KUHP. Terutama yang ingin dilindungi dalam konsep delik terhadap agama ini adalah kesucian agama itu sendiri, bukan untuk melindungi kebebasan beragama para pemeluknya.
Selain itu, menurut Prof. Oemar Seno Adji, agama perlu dilindungi dari kemungkinan-kemungkinan perbuatan orang yang bisa merendahkan dan menistakan simbol-simbol agama, seperti Tuhan, Nabi, Kitab Suci, dan sebagainya. Meski ditujukan untuk melindungi kesucian agama, akan tetapi karena agama “tidak bisa bicara” , maka sebenarnya pasal ini juga ditujukan untuk melindungi para penganut agama.
Kemudian menurut Prof. DR. Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa tindak pidana dalam Pasal 156a KUHP mirip dengan apa yang dinamakanBlasphemy atau Godlatering yang berarti penghinaan terhadap Allah.[6] Dasar inilah yang dipakai oleh Jaksa Penuntut Umum dalam mendakwa Arswendo Atmowiloto, dengan alasan bahwa dengan mengadakan polling mengenai 10 tokoh terpopuler merupakan penodaan terhadap suatu agama.
Dalam kasus diatas pemberitaan yang dilakukan oleh Tabloid Monitor memenuhi semua rumusan pasal, dikarenakan majalah Monitor merupakan sarana untuk menyebarkan informasi dan terkait juga dengan pemberitaan suatu informasi melalui media pers. Prof. Dr. Loebby Loqman, SH. melakukan perluasan mengenai pengertian media pers yang menyatakan bahwa media pers itu meliputi tidak saja media cetak, tetapi media non-cetak, sehingga delik pers melalui media cetak, dapat pula melalui media non cetak, seperti TV, Bioskop, dan sebagainya
Walaupun Arswendo Atmowiloto tidak sengaja atau lalai sebagai pimpinan redaksi dalam melakukan pemeberitaan tersebut, akan tetapi hal tersebut tidak dipentingkan, karena seharusnya Arswendo Atmowiloto tahu akan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi ketika artikel tersebut naik cetak, sedangkan untuk membuat karikatur Nabi Muhammad SAW saja dilarang apalagi pemberitaan mengenai Nabi Muhammad SAW yang pastinya akan mengarah pada penodaan terhadap agama Islam.
Dengan demikian, perbuatan yang dilakukan dalam KUHP masih dibutuhkan penafsiran yang sangat luas mengenai penodaan agama, sedangkan dalam RUU KUHP membuka lebar terjadinya penyebaran penodaan agama dengan sarana cetak khusunya untuk simbol-simbol keagamaan.


            Beberapa contoh kasus konkrit yang terjadi mengenai penodaan agama tersebut membuktikan adanya sensitifitas rasa di masyarakat khususnya mengenai keyakinan yang dianut. Perkembangan terkait pengaturan tentang penodaan agama ini pun begitu dinamis dari waktu ke waktu. Beragamnya pemahaman di masyarakat mengenai “penodaan agama” inilah yang melatarbelakangi upaya pengujian Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pada tahun 2009, pengujian konstitusionalitas tersebut dimohonkan oleh IMPARSIAL, ELSAM dkk ke Mahkamah Konstitusi dengan nomor perkara 140/PUU-VII/2009.
            Dalam putusan tersebut, Mahkamah menolak seluruh permohonan para Pemohon dengan mempertimbangkan bahwa dari sudut pandang HAM, kebebasan beragama yang diberikan kepada setiap manusia bukanlah merupakan kebebasan yang bebas nilai dan kebebasan an sich, melainkan kebebasan yang disertai dengan tanggung jawab sosial untuk mewujudkan HAM bagi setiap orang, sehingga negara memiliki peran sebagai penyeimbang antara hak asasi dan kewajiban dasar untuk mewujudkan HAM yang berkeadilan. Negara memiliki peran untuk memastikan bahwa dalam pelaksanaan kebebasan beragama seseorang tidak melukai kebebasan beragama orang lain. Di sinilah negara akan mewujudkan tujuannya yakni untuk mencapai kehidupan yang lebih baik (the best life possible), dan UU Pencegahan Penodaan Agama tidak sedikitpun mematikan kemajemukan agama yang ada dan tumbuh di Indonesia, karena semua penganut agama mendapat pengakuan dan jaminan perlindungan yang sama. Adapun pernyataan dan penyebutan agama-agama dalam penjelasan tersebut hanyalah pengakuan secara faktual dan sosiologis keberadaan agama-agama di Indonesia pada saat UU Pencegahan Penodaan Agama dirumuskan, dan penafsiran terhadap suatu ajaran atau aturan tertentu merupakan kebebasan berpikir setiap orang. Tafsir dapat memberikan keyakinan terhadap sesuatu hal, sehingga tafsir dapat mengarah kepada kebenaran maupun berpotensi kepada terjadinya kesalahan. Walaupun penafsiran keyakinan atas ajaran agama merupakan bagian dari kebebasan yang berada pada forum internum, namun penafsiran tersebut haruslah berkesesuaian dengan pokok-pokok ajaran agama melalui metodologi yang benar berdasarkan sumber ajaran agama yang bersangkutan yaitu kitab suci masing-masing, sehingga kebebasan melakukan penafsiran terhadap suatu agama tidak bersifat mutlak atau absolut. Tafsir yang tidak berdasarkan pada metodologi yang umum diakui oleh para penganut agama serta tidak berdasarkan sumber kitab suci yang bersangkutan akan menimbulkan reaksi yang mengancam keamanan dan ketertiban umum apabila dikemukakan atau dilaksanakan di muka umum.
            Demikianlah perkembangan pengaturan mengenai penodaan agama di Indonesia. Dari berbagai macam perspektif, baik historis dan sosiologisnya, maka cukup pantas dan layaklah jika UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama ini dipertahankan. Karena sesuai dengan inti putusan MK a quo bahwasannya memang benar Negara menjamin hak konstitusional warga negaranya, akan tetapi Negara juga memiliki kewajiban memberikan pembatasan  hak warganegaranya bilamana akhirnya mengganggu hak warganegara lainnya. Oleh karena itu kedepannya diharapkan masyarakat tetap dapat saling menjaga satu sama lain, sehingga konflik atau friksi-friksi di masyarakat terkait permasalahan agama dapat dihindari.
Demikian…

Wassalamualaikum….