Selasa, 09 Juni 2015

Mengupas Akar Radikalisme, Terorisme dan ISIS

Saudara sekalian, kita ketahui bersama saat ini dunia sedang diguncang oleh issue radikalisme. Gerakan-gerakan separatis yang berlatarbelakang radikalisme begitu menjamur belakangan ini.  Sebetulnya hal demikian tidak hanya terjadi dalam era sekarang saja karena dalam perjalanan sejarah beberapa Negara di dunia tidak dapat dilepaskan dengan peristiwa pergerakan organisasi radikal. Secara luas, radikalisme ini tidak hanya menjangkit pada salah satu agama atau keyakinan saja, tetapi radikalisme muncul dan berkembang dalam berbagai macam versi.
Beberapa Negara pernah dan sedang menghadapi problem radikalisme tersebut. Misalnya saja di India, gerakan Kelompok Hindu radikal, Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS) yang kerap melakukan penyerangan pertemuan ibadah Minggu sebuah persekutuan doa umat kristen di barat daya Karnataka, di selatan India. Tahun 2014 di Republik Afrika Tengah memanas ketika pejuang Seleka yang mayoritas Muslim menggulingkan presiden Francois Bozize, seorang Kristen yang memperoleh kekuasaan dalam kudeta 2003. Para pejuang Muslim kemudian menempatkan Michel Djotodia, seorang Muslim, sebagai presiden sementara. Hal tersebut tidak dapat diterima oleh kelompok Kristen Radikal yang kemudian kerap kali melakukan penyerangan terhadap mesjid-mesjid di Republik Afrika Tengah. Di Israel Sebanyak 14 serangan oleh terduga kaum ekstremis kanan Yahudi sebagai kelompok radikal telah dilakukan.  Beberapa serangan dilakukan selama satu bulan terakhir, termasuk sebuah ancaman kematian yang ditulis dalam bahasa Ibrani ke Majelis Uskup di Notre Dame Centre di Jerusalem Timur. Tahun 2013 kelompok Buddha radikal di Sri Lanka menuntut dihapuskannya sistem sertifikasi makanan halal. Kelompok radikal ini menuduh umat Islam dan Kristen mempromosikan ekstremisme dan mencoba menggoyahkan keimanan umat Buddha.
Fakta-fakta demikian yang kemudian menjadi kekhawatiran masyarakat di seluruh dunia. Karena hal tersebut kadangkala disalah artikan oleh masyarakat untuk menstigmakan agama erat berhubungan dengan terorisme. Perang, kekerasan, dan pengrusakan selalu dikaitkan dengan agama sebagai alasannya. Untuk itu, radikalisme ini adalah bahaya bersama bagi seluruh umat beragama. Radikalisme merupakan ancaman besar bagi perdamaian dunia. Cita-cita untuk menciptakan suatu pola peradaban yang damai dan sejahtera menjadi sulit diwujudkan jika masih ada gerakan-gerakan yang didasari dengan motif kebencian dan kecurigaan berlebihan terhadap perbedaan.
Radikalisme secara harfiah berarti “ 1 paham atau aliran yg radikal dl politik; 2 paham atau aliran yg menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dng cara kekerasan atau drastis; 3 sikap ekstrem dalam aliran politik. Melihat dari konteks gramatikal jika dikaitkan dengan apa yang terjadi saat ini maka radikalisme bisa diartikan sebagai paham ekstrem dalam menganut dan menjalankan suatu keyakinan. Khusus terkait hal radikalisme dalam agama secara historis memang muncul sebagai fenomena global yang menjadi persoalan yang harus diselesaikan. Radikalisme sendiri sudah muncul pada sejak lama dan kemudian berkembang pada masa peradaban modern dengan dalih perubahan pola pikir.
Dalam era peradaban modern, paham radikal tersebut begitu cepat tumbuh berkembang di seluruh dunia. Radikalisme sesungguhnya muncul akibat berkembangnya pergaulan dunia yang secara otomatis mengakibatkan percampuran kultur antar bangsa. Hal tersebut yang menyebabkan pemahaman akan faham-faham konservatif menjadi sedikit demi sedikit terbarukan dengan adanya pembauran dengan budaya-budaya barat. Akan tetapi akulturasi bagi sebagian kaum konservatif dianggap sebagai proses yang membahayakan kemurnian ajaran itu sendiri. Kaum-kaum radikal inilah yang kemudian menutup diri terhadap masuknya budaya selain dari yang diamanatkan ajarannya dalam suatu pola kehidupan sosial. Kaum radikal menginginkan kembalinya kemurnian suatu ajaran yang dijadikan satu-satunya pedoman. Hal tersebutlah yang memicu perkembangan muculnya organisasi radikal di berbagai Negara.
Radikalisme tentu akan memicu upaya-upaya perlawanan yang membahayakan, hal demikian mengakibatkan hilangnya rasa aman di masyarakat dunia, bahkan seringkali ancaman-ancaman kerap mewarnai aktifitas gerakan-gerakan radikal tersebut. Ancaman-ancaman tersebut menjadi terror yang merusak perdamaian, keamanan dan ketenteraman hidup. Seolah menjadi kebiasaan yang mengakar dari kelompok-kelompok tersebut, maka kita kenal sekarang adanya kelompok teroris yang menanamkan terorisme sebagai faham dalam upaya-upayanya untuk mencapai sebuah tujuan. Keinginan yang besar dari suatu kelompok untuk memaksakan ideologinya dilakukan dengan berbagai cara seperti pemberontakan lewat perlawanan dengan kekerasan sebagai tradisinya. Terorisme yang dianut guna mencapai tujuannya tersebut seringkali memakan korban dan menumpahkan darah orang-orang yang tidak bersalah. Bagi mereka, orang-orang yang tidak sepaham wajib dimusuhi bahkan tidak jarang layak dibunuh. Pola pikir yang seperti inilah yang seharusnya diubah total. Kerusakan fundamental terjadi pada pribadi-pribadi yang kehilangan arah tersebut. Untuk itu dunia tidak henti-hentinya melakukan perlawanan terhadap radikalisme dan terorisme.  Issue pencegahan dan pemberantasan terorisme acapkali menjadi issue utama dalam konferensi-konferensi internasional.
Indonesia, saat ini sadar betul bahwa radikalisme merupakan gerakan-gerakan radikal yang menjurus kepada terorisme yang membahayakan dan dapat mengganggu stabilitas keamanan nasional. Untuk itu, Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah baik preventif maupun represif. Pasca beberapa peristiwa pengeboman, Pembentuk Undang-Undang pada masa itu mulai menyusun Undang-Undang yang mengatur mengenai upaya-upaya pencegahan dan juga penanggulangan terrorisme. Pada tahun 2002 tepatnya setelah tragedi “bom bali” keluarlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian disusul dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Alasan yang mendasari dibentuknya PERPPU tersebut adalah komitmen nasional dan internasional untuk menghentikan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional akibat terrorisme. Kemudian di Tahun 2013, PERPPU tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2013 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang ditambah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang yang kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Nomor 13/PUU-I/2003.
Pada tahun 2006, Indonesia telah berhasil meratifikasi Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme yaitu dengan dikeluarkannnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengesahan International Convention For The Suppression Of The Financing Of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999). Hal tersebut merupakan terobosan positif yang dilakukan dunia internasional untuk membendung gerakan terrorisme, karena dengan menghentikan laju pendanaannnya maka gerakan-gerakan terroris menjadi terbatas. Upaya Indonesia dalam hal pemberantasan terrorisme mendapat perhatian dari Negara lain. Hal tersebut terbukti dengan disahkannya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Pengesahan Memorandum Saling Pengertian Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Federasi Rusia Tentang Kerjasama Di Bidang Pemberantasan Terrorisme (Memorandum Of Understanding Between The Government Of The Republic Of Indonesia Anda The Government Of The Russian Federation On Cooperation In Combating Terrorism).
Langkah konkrit yang diwujudkan oleh Pemerintah adalah dengan dibentuknya  Badan Nasional Penanggulangan Terorisme berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 dan telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010. BNPT memiliki tugas: Menyusun kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme; Mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam pelaksanaan dan melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme; Melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme dengan membentuk satuan-satuan tugas yang terdiri dari unsur-unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing. Diharapkan dengan adanya badan khusus, dapat menanggulangi permasalahan radikalisme dan terorisme yang berkembang di Indonesia. Keaktifan Indonesia dalam upaya pemberantasan terrorisme ini terus berlanjut di Tahun 2012 diterbitkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Asean Convention On Counter Terrorism (Konvensi ASEAN mnegenai Pemberantasan Terrorisme). Tahun 2013 terbit Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terrorisme dan di Tahun 2014 terbit secara khusus Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2014 Tentang Pengesahan International Convention For The Suppression Of Acts Of Nuclear Terrorism (Konvensi Internasional Penanggulangan Tindakan Terrorisme Nuklir). Hal-hal tersebut membuktikan betapa pentingnya upaya pencegahan dan pemberantasan terrorisme dilakukan oleh Pemerintah Indonesia bahkan dalam ruang lingkup yang lebih luas, yaitu dunia internasional.
Dewasa ini issue global terkait dengan gerakan radikal adalah tentang ISIS. Secara historis semua bermula sejak revolusi Suriah di tahun 2011, sebagian pejuang asal Suriah dari Irak kembali ke Suriah untuk melawan rezim Presiden Bashar Al Assad dengan kemudian membentuk Jabhat Al Nusrah (JN) yang merupakan kelompok terbesar dari pejuang Suriah. Sedikit demi sedikit beberapa kota mulai dibebaskan dan kemudian setelah banyak kota dibebaskan tiba-tiba pemimpin mereka yaitu Abu Bakar Al Baghdady menghapus JN dan merubahnya menjadi Daulah Islam Iraq dan Syam atau yang kemudian kita kenal dengan ISIS (Islamic State in Iraq and Syam). AKan tetapi dalam perjalanannya, ISIS banyak melakukan tindakan-tindakan terror yang menyimpang dari syariah itu sendiri. Berikut ini beberapa hal yang dilakukan ISIS:
1.    Sikap mengkafirkan orang lain yang tidak sekelompok dengan ISIS walaupun mereka adalah muslim yang benar, dan menghalalkan darahnya;
2.    Menyerang pejuang/mujahidin Surian dari kelompok lain seperti JN, Ahrarus Syam, Jabhat Al Islamiyah dll, sehingga malah memecah konsentrasi para pejuang sunny dalam melawan kekejaman tentara presiden Bashar Al Assad;
3.    Menolak Mahkamah Syariah yang digagas para ulama netral untuk mengadili mujahidin yang terlibat bentrokan ketika terjadi perselisihan diantara pejuang Suriah;
4.    Menolak perintah Al-Qaidah untuk kembali ke Iraq, dan malah menuduh balik Al-Qaidah dengan tuduhan-tuduhan negatif;
5.    Berlebih-lebihan (Ghuluw) dalam hal menghukum, seperti memenggal kepala, menyalib, membakar dan lain-lain yang dilarang dalam manhaj islam yang lurus (termasuk menghukum orang yang sudah mendapat jaminan keamanan, padahal dalam syariah tidak diperbolehkan).
Saat ini, disinyalir sebagian warga Indonesia yang pernah bermukim di Baghdad, Irak pasca jatuhnya Saddam Husain, ada yang bergabung dalam gerakan radikal ISIS. Warga Indonesia itu adakalanya berasal dari keluarga TKI/ TKW yang bekerja di Irak dan Syam (Suriah), namun terkadang sengaja berangkat ke Irak dan Suriah untuk menjadi relawan perang, guna melawan musuh-musuh ISIS baik dari kalangan kaum kafir (AS dan sekutunya) maupun kaum muslimin yang dianggap berlawanan dengan aqidah dan politik ISIS. Yang mencemaskan adalah akhir-akhir ini di Indonesia mulai dideklarasikan pendirian cabang Khilafah Islamiyah versi ISIS ini di beberapa daerah, seperti di Jakarta, Bandung, Solo, Jawa Timur dan lainnya yang dilakukan oleh para simpatisan ISIS, dan dimotori oleh para mantan mukimin Irak dan Suriah tersebut.
Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin menilai ISIS sebagai organisasi pergerakan yang berpaham radikal, menggunakan kekerasan demi memperjuangkan yang diyakininya. Umat Islam Indonesia harus mendukung upaya negara untuk mencegah meluasnya gerakan tersebut di tanah air dan tidak terpengaruh. ”Mengangkat sumpah dan berjanji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing itu bisa menyebabkan orang kehilangan kewarganegaraan RI. Kita harus dukung aparat penegak hukum untuk bekerja profesional dalam menanganinya,” ujar Lukman. Untuk itu sebaiknya umat Islam Indonesia mawas diri. Dakwah Islam hendaknya dilakukan dengan mengajak dan merangkul semua kalangan lewat cara-cara yang baik dan penuh hikmah, tidak dengan menebar ketakutan dan kekerasan. Di era globalisasi ini, kita harus mampu memperkuat diri sendiri guna menangkal anasir yang bisa mengusik keutuhan kita sebagai sesama umat beragama, berbangsa, dan bernegara.
Kepala BNPT Ansyaad Mbai juga menegaskan bahwa pemerintah Suriah telah menetapkan ISIS sebagai kelompok teroris. Iran juga minta bantuan AS untuk menangkal serangan ISIS. “Sekjen PBB serta negara-negara Eropa melarang keras warganya pergi ke daerah tersebut.” Maka menurut Ansyaad, bila ada Warga Negara Indonesia (WNI) yang bergabung dengan kelompok tersebut bisa dikatakan anggota teroris. Apalagi, BNPT telah mendapatkan laporan di sejumlah daerah mengenai kegiatan berbaiat kelompok ISIS. Daerah itu meliputi Jakarta, Bima, Kalimantan dan Sulawesi. Oleh karena hal-hal yang demikian, maka seyogyanya kita sebagai muslim dan warga Negara yang baik dapat saling bekerjasama untuk mencegah dan mengantisipasi gerkan radikal yang justru membahayakan keutuhan NKRI.
Bicara soal radikalisme dan terrorisme maka tidak bisa dilepaskan juga dengan separatisme. Upaya yang dilakukan kelompok-kelompok radikal memiliki tujuan untuk memperoleh pengakuan bahwa ideologinya yang paling benar, sampai-sampai kelompok tersebut siap melakukan perlawanan atau bahkan menyatakan perang terhadap status quo demi mengganti ideologi sebuah Negara. Tentu kita belum lupa dengan apa yang terjadi di Aceh, Maluku Selatan dan Papua. Radikalisme yang berujung pada separatisme yaitu keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI sangat menggannggu stabilitas keamanan nasional. Selain itu, harus disayangkan apabila harus ada pertumpahan darah sesama saudara sebangsa dan setanah air hanya karena keinginan dan egoisme untuk membangun suatu tatanan bernegara yang baru berdasarkan ideologinya. Untuk itu perlu dipahami bersama oleh seluruh masyarakat Indonesia bahwa Pancasila sebagai ideologi bangsa patut dijaga, persatuan dan kesatuan demi utuhnya NKRI menjadi harga mati bagi kita semua.
Radikalisme, terrorisme dan separatisme menjadi gangguan yang harus segera diberantas, dan hal ini menjadi bagian dari tanggung jawab penegak hukum. Tak terkecuali bagi Hakim Konstitusi. Mahkamah Konstitusi telah memutus beberapa perkara yang berkaitan dengan terorisme dan penodaan agama., dan dalam putusan tersebut memuat pertimbangan hukum dan pendapat Mahkamah mengenai permasalahan radikalisme dan terorisme di Indonesia. Jika di Indonesia radikalisme sering berkaitan dengan issue SARA terutama agama, maka Mahkamah Konstitusi pernah memberikan pendapat melalui putusannya, antara lain, “...bahwa setiap agama memiliki pokok-pokok ajaran yang diterima umum pada internal agama tersebut, oleh karena itu yang menentukan pokok-pokok ajaran agama adalah pihak internal agama masing-masing. Indonesia sebagai sebuah negara yang menganut paham agama tidak dipisahkan dari negara, memiliki Departemen Agama yang melayani dan melindungi tumbuh dan berkembangnya agama dengan sehat, dan Departemen Agama memiliki organisasi serta perangkat untuk menghimpun berbagai pendapat dari internal suatu agama. Jadi dalam hal ini negara tidak secara otonom menentukan pokokpokok ajaran agama dari suatu agama, akan tetapi hanya berdasarkan kesepakatan dari pihak internal agama yang bersangkutan”.

Sebenarnya permasalahan radikalisme adalah permasalahan ideologi yang penyebarannya sulit dideteksi. Pemahaman ini sangat mudah ditularkan dari satu orang ke orang yang lain. Melalui diskursus yang tidak dikawal dengan baik oleh para ahli menjadi sangat rawan untuk disusupi cara-cara berfikir radikal. Terutama dalam hal pendidikan bagi remaja. Remaja seringkali dijadikan objek/sasaran bagi penyebar radikalisme. Remaja memiliki rasa keingintahuan yang besar, sehingga memiliki minat belajar yang tinggi pula. Oleh karena hal tersebut, perlunya bimbingan yang tepat bagi mereka agar mereka tidak mendapatkan ilmu dari pihak-pihak yang kurang tepat. Maka dari itu bagi seluruh muslimin dan muslimat di Salatiga khususnya, rasa keingintahuan adalah hal positif, namun dalam hal proses pendalaman ilmu tersebut tetap harus meminta pertimbangan dan nasihat dari pengajar-pengajar saudara-saudara sekalian. Hal yang paling wajib dipahami oleh kita bersama adalah pentingnya dijunjung tenggang rasa dan saling menghargai satusama lain demi terjaganya keutuhan NKRI yang kita cintai ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar