Baru saja, Rabu, 8 Juli
2015, Mahkamah Konstitusi memutus perkara register nomor 33/PUU-XIII/2015
tentang Pengujian Pasal 7 huruf r dan s Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Dalam permohonan a
quo, Pemohon adalah putra (anak kandung) dari Bupati Gowa, Sulawesi
Selatan. Pemohon merasa hak konstitusionalnya "berpotensi" dirugikan
dengan berlakunya Pasal 7 r dan s mengenai syarat menjadi kepala daerah. Fokus
pembahasasn dalam tulisan kali ini adalah terkait dengan Pasal 7 huruf r yang
dibatalkan oleh MK melalaui putusan a quo.
Kemudian dikuatkan dengan keterangan DPR yang menyatakan,
Adapun Frasa dalam Pasal
7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota Menjadi Undang-Undang, menyatakan:
“tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”;
Penjelasan Pasal 7 huruf r:
“Yang dimaksud dengan “tidak memiliki konflik kepentingan
dengan petahana” adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan
dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping
dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak,
menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan”.
Mahkamah Konstitusi
kemudian memutus yang dalam amar putusannya menyatakan
"Pasal 7 huruf r beserta Penjelasan Pasal 7 huruf r
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 149 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota Menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5678) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;"
Dengan demikian
ketetntuan Pasal 7 huruf r tersebut dibatalkan dan tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat.
Keterangan Presiden dan DPR
Dalam jalannya persidangan Mahkamah, Presiden dan DPR memberikan
keterangan yang pada pokoknya memiliki kesamaan. Keterangaan dimaksud
memberikan penjelasan historis mengenai kemunculan Pasal a quo dalam UU
Pemilukada dimaksud.
Presiden dalam
keterangannya menyatakan,
"maksud
pembentuk Undang-Undang mencantumkan ketentuan Pasal 7 huruf r dan Penjelasan
Pasal 7 huruf r UU 8/2015 adalah untuk menciptakan kompetisi yang fair antara
calon yang berasal dari keluarga petahana (incumbent) dan calon lain sehingga
dengan demikian akan tercegah berkembangnya apa yang dinamakan “politik
dinasti” atau “dinasti politik”. Sementara itu, menurut 129 Presiden,
politik dinasti tersebut tidak dapat dipisahkan dari konsep petahana
(incumbent). Penjelasannya, menurut Presiden, adalah sebagai berikut: Pertama,
karena petahana mempunyai akses terhadap kebijakan dan akses terhadap alokasi
anggaran sehingga dapat memberikan keuntungan pribadi untuk memenangkan
pemilihan kepala daerah atau memenangkan kelompokkelompoknya. Kedua,
petahana secara alamiah memiliki berbagai fasilitas dan tunjangan yang melekat
kepada dirinya sehingga, dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, fasilitas dan
tunjangan itu melekat terus menerus. Ketiga, karena sedang
menjabat maka petahana memiliki keunggulan terhadap program-program, terhadap
kegiatan-kegiatan yang seluruhnya atau sebagian dapat diarahkan untuk
memenangkan dirinya atau memenangkan dinastinya. Keempat, terkait
dengan netralitas PNS di mana petahana mempunyai akses yang lebih besar untuk
memobilisasi PNS guna memberikan dukungan yang menguntungkan dirinya. Atas
dasar itu kemudian ditarik asumsi bahwa calon yang berasal dari keluarga
petahana dan calon lain tidak berada dalam kondisi equal. Dengan kata lain,
dalam asumsi pembentuk Undang-Undang, in casu pemerintah, maksud dari ketentuan
yang memberikan pembatasan terhadap keluarga petahana itu adalah agar semua
calon berangkat dari kondisi equal sehingga kompetisi berlangsung secara
fair."
Kemudian dikuatkan dengan keterangan DPR yang menyatakan,
"dinasti politik
telah marak terjadi di berbagai daerah. Menurut DPR, ada dua hal yang mendasari
berkembangnya dinasti politik tersebut. Pertama, macetnya
kaderisasi politik dalam menjaring calon kepala daerah yang berkualitas
sehingga menciptakan pragmatisme politik dengan mendorong kalangan sanak
keluarga kepala daerah untuk menjadi pejabat publik. Kedua, konteks
masyarakat yang menjaga adanya kondisi status quo di daerahnya yang
menginginkan kepala daerah untuk berkuasa dengan cara mendorong kalangan
keluarga atau orang dekat kepala daerah untuk menggantikan petahana. Dengan
demikian, menurut DPR, adanya pengaturan mengenai “dinasti politik” ini justru
merupakan langkah progresif yang positif karena dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pengaturan demikian belum ada sehingga
terjadilah dinasti politik di berbagai daerah."
Pendapat Mahkamah
Sementara Mahkamah dalam Pertimbangan Hukumnya berpendapat:
1. Pembatasan Hak Konstitusional Warga Negara
"pembentuk Undang-Undang sesungguhnya telah menyadari sejak
semula kalau dengan rumusan sebagaimana tertulis dalam
Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 tersebut
berarti telah membuat pembatasan yang bersifat menghalangi hak konstitusional
warga negara dari kelompok tertentu, in casu warga negara yang
terlahir dari atau mempunyai ikatan kekerabatan dengan
keluarga kepala daerah petahana (incumbent) karena perkawinan"
kemudian di alinea lain:
"Dengan demikian
telah jelas bahwa, sesuai dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, syarat
untuk dapat membatasi pelaksanaan hak asasi bukan semata-mata bahwa pembatasan
itu harus dilakukan dengan Undang-Undang, sebagaimana dijelaskan oleh pembentuk
Undang-Undang (DPR dan Presiden) dalam perkara a quo. Seseorang yang karena
kelahirannya atau karena memiliki hubungan kekerabatan dengan kepala daerah
petahana tidaklah mengganggu hak atau kebebasan orang lain jika hendak
mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Demikian pula, dengan mencalonkan diri
sebagai kepala daerah, hal ini pun tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral,
agama, keamanan maupun ketertiban umum. Dengan demikian, alasan bahwa larangan
itu hanya berlaku sementara, yaitu selama belum terlampauinya jeda satu periode
masa jabatan sebagaimana diterangkan oleh DPR, tidaklah menghilangkan substansi
pertentangan ketentuan a quo dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945."
2. Implementasi Norma
(Dinasti Politik akibat lemahnya pengawasan)
“Lagi pula, Presiden mengakui bahwa ketentuan sebagaimana termuat dalam
Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 tidak
dibutuhkan sekiranya sistem pengawasan oleh Bawaslu, sistem pengawasan oleh
inspektorat, maupun sistem pengawasan oleh BPKP telah berjalan dengan baik. Dengan
demikian, problem yang sesungguhnya adalah tidak optimalnya mekanisme
pengawasan terhadap kepala daerah petahana oleh institusi-institusi yang
memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan. “
3. Right to be candidate
“Dengan demikian Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf
r UU
8/2015 bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Memang benar bahwa tidak setiap pembedaan serta-merta berarti diskriminasi.
Namun, dalam kasus a quo, tampak nyata kalau pembedaan tersebut dibuat
semata-mata didasari oleh maksud untuk mencegah kelompok orang tertentu (in
casu anggota keluarga kepala daerah petahana) untuk menggunakan hak
konstitusionalnya (in casu hak untuk dipilih atau mencalonkan diri, right to be candidate) dan dilakukan
dengan cara yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945,”.
4. Potensi Multi tafsir dari frasa “tidak
memiliki konflik kepentingan dengan petahana”;
“Menurut Mahkamah, dalam keadaan demikian Pasal 7 huruf r UU
8/2015 tersebut akan sulit dilaksanakan dalam praktik, khususnya oleh
Penyelenggara Pilkada. Sebab, pemaknaan terhadap frasa “tidak memiliki konflik
kepentingan dengan petahana” itu berarti diserahkan kepada penafsiran setiap
orang sesuai dengan kepentingannya. Dengan kata lain, dapat dipastikan bahwa
tidak akan ada kesamaan pandangan terhadap frasa “tidak memiliki konflik
kepentingan dengan petahana”. Akibatnya, tidak ada kepastian hukum. Padahal,
kepastian hukum terhadap penafsiran frasa “tidak memiliki konflik kepentingan
dengan petahana” itu menjadi penentu hak seseorang untuk mencalonkan diri
sebagai kepala daerah yang dijamin oleh Konstitusi. Dengan demikian, telah
terang bahwa apabila Pasal 7 huruf r UU 8/2015 dimaknai terlepas dari
penjelasannya pun, hal itu tetap bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak
memberi kepastian hukum yang potensial merugikan hak konstitusional warga
negara, in casu hak untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah;”
Dan dalam hal Penjelasan Pasal a quo:
“Bahwa, khusus terhadap Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015,
Mahkamah memandang perlu untuk kembali menegaskan bahwa penjelasan dari suatu
ketentuan Undang-Undang akan menjadi bertentangan dengan UUD 1945 jika ia
memuat atau merumuskan norma baru”
Dalam putusan a quo Mahkamah memberikan catatan:
“Bahwa, dengan seluruh pertimbangan di atas bukan berarti
Mahkamah menafikan kenyataan di mana kepala daerah petahana (incumbent)
memiliki berbagai keuntungan, sebagaimana dikemukakan oleh Presiden,
sehingga karenanya penting untuk dirumuskan pembatasan-pembatasan agar
keuntungan-keuntungan itu tidak disalahgunakan oleh kepala daerah petahana
untuk kepentingan dirinya (jika ia hendak mencalonkan diri kembali), anggota
keluarganya, kerabatnya, atau kelompok-kelompok tertentu yang dekat dengannya.
Namun, pembatasan demikian haruslah ditujukan kepada kepala daerah petahana
itu, bukan kepada keluarganya, kerabatnya, atau kelompok-kelompok tertentu
tersebut. Sebab, keuntungan-keuntungan itu melekat pada si kepala daerah
petahana sehingga kemungkinan penyalahgunaannya juga melekat pada si kepala
daerah petahana.”
Berdasarkan uraian di
atas, maka penulis mencoba menyimpulkan bahwa sebenarnya Mahkamah melalui
putusan ini mengembalikan hak hak politik warga negara yang pada dasarnya
memang dilindungi oleh konstitusi. Pulihnya hak politik dimaksud adalah hak
untuk mencalonkan diri (right to be candidate)
bagi setiap warga negara karena sesuai dengan prinsip persamaan di hadapan
hukum. Dinasti politik memang persoalan yang perlu diselesaikan karena dapat
menghambat jalannya proses demokrasi di Indonesia. Namun pertanyaannya, apakah
ini menjadi permasalahan konstitusionalitas?. Mahkamah menegaskan bahwa
sebetulnya ini persoalan implementasi norma yang ada di tataran aplikatif.
Khusus mengenai hak politik, nyata-nyata hak tersebut menjadi hak mutlak bagi
warga negara yang tidak dapat dibatasi dengan alasan hubungan darah. “tidak
ada seorang pun yang bisa meminta untuk dilahirkan menjadi anak siapa dan
bersaudara siapa”.
Jika dalam praktiknya di Indonesia
dinasti politik yang dibangun menimbulkan kerugian besar karena perilaku
korupsi, kolusi dan nepotisme, maka ini adalah menjadi pekerjaan rumah bagi
Negara dalam hal ini Pemerintah untuk melakukan mekanisme kontrol/pengawasan
yang baik. Dengan demikian maka jalannya proses demokrasi di Indonesia tetap
berkjalan dengan baik tanpa ada yang diciderai kepentingan dan hak-haknya.