Kamis, 09 Juli 2015

PULIHNYA HAK POLITIK WARGA NEGARA DALAM KONTESTASI PEMILUKADA (Putusan MK No 33/PUU-XIII/2015)

             Baru saja, Rabu, 8 Juli 2015, Mahkamah Konstitusi memutus perkara register nomor 33/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Pasal 7 huruf r dan s  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Dalam permohonan a quo, Pemohon adalah putra (anak kandung) dari Bupati Gowa, Sulawesi Selatan. Pemohon merasa hak konstitusionalnya "berpotensi" dirugikan dengan berlakunya Pasal 7 r dan s mengenai syarat menjadi kepala daerah. Fokus pembahasasn dalam tulisan kali ini adalah terkait dengan Pasal 7 huruf r yang dibatalkan oleh MK melalaui putusan a quo.

          Adapun Frasa dalam Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, menyatakan:

“tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”; 

Penjelasan Pasal 7 huruf r:

Yang dimaksud dengan “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan”.

Mahkamah Konstitusi kemudian memutus yang dalam amar putusannya menyatakan 

"Pasal 7 huruf r beserta Penjelasan Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 149 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5678) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;"
Dengan demikian ketetntuan Pasal 7 huruf r tersebut dibatalkan dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Keterangan Presiden dan DPR
Dalam jalannya persidangan Mahkamah, Presiden dan DPR memberikan keterangan yang pada pokoknya memiliki kesamaan. Keterangaan dimaksud memberikan penjelasan historis mengenai kemunculan Pasal a quo dalam UU Pemilukada dimaksud.

Presiden dalam keterangannya menyatakan,

"maksud pembentuk Undang-Undang mencantumkan ketentuan Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 adalah untuk menciptakan kompetisi yang fair antara calon yang berasal dari keluarga petahana (incumbent) dan calon lain sehingga dengan demikian akan tercegah berkembangnya apa yang dinamakan “politik dinasti” atau “dinasti politik”. Sementara itu, menurut  129 Presiden, politik dinasti tersebut tidak dapat dipisahkan dari konsep petahana (incumbent). Penjelasannya, menurut Presiden, adalah sebagai berikut: Pertama, karena petahana mempunyai akses terhadap kebijakan dan akses terhadap alokasi anggaran sehingga dapat memberikan keuntungan pribadi untuk memenangkan pemilihan kepala daerah atau memenangkan kelompokkelompoknya. Kedua, petahana secara alamiah memiliki berbagai fasilitas dan tunjangan yang melekat kepada dirinya sehingga, dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, fasilitas dan tunjangan itu melekat terus menerus. Ketiga, karena sedang menjabat maka petahana memiliki keunggulan terhadap program-program, terhadap kegiatan-kegiatan yang seluruhnya atau sebagian dapat diarahkan untuk memenangkan dirinya atau memenangkan dinastinya. Keempat, terkait dengan netralitas PNS di mana petahana mempunyai akses yang lebih besar untuk memobilisasi PNS guna memberikan dukungan yang menguntungkan dirinya. Atas dasar itu kemudian ditarik asumsi bahwa calon yang berasal dari keluarga petahana dan calon lain tidak berada dalam kondisi equal. Dengan kata lain, dalam asumsi pembentuk Undang-Undang, in casu pemerintah, maksud dari ketentuan yang memberikan pembatasan terhadap keluarga petahana itu adalah agar semua calon berangkat dari kondisi equal sehingga kompetisi berlangsung secara fair."

Kemudian dikuatkan dengan keterangan DPR yang menyatakan,

"dinasti politik telah marak terjadi di berbagai daerah. Menurut DPR, ada dua hal yang mendasari berkembangnya dinasti politik tersebut. Pertama, macetnya kaderisasi politik dalam menjaring calon kepala daerah yang berkualitas sehingga menciptakan pragmatisme politik dengan mendorong kalangan sanak keluarga kepala daerah untuk menjadi pejabat publik. Kedua, konteks masyarakat yang menjaga adanya kondisi status quo di daerahnya yang menginginkan kepala daerah untuk berkuasa dengan cara mendorong kalangan keluarga atau orang dekat kepala daerah untuk menggantikan petahana. Dengan demikian, menurut DPR, adanya pengaturan mengenai “dinasti politik” ini justru merupakan langkah progresif yang positif karena dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pengaturan demikian belum ada sehingga terjadilah dinasti politik di berbagai daerah."

Pendapat Mahkamah
Sementara Mahkamah dalam Pertimbangan Hukumnya berpendapat:

1. Pembatasan Hak Konstitusional Warga Negara

"pembentuk Undang-Undang sesungguhnya telah menyadari sejak semula kalau dengan rumusan       sebagaimana tertulis dalam Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 tersebut       berarti telah membuat pembatasan yang bersifat menghalangi hak konstitusional warga negara     dari kelompok tertentu, in casu warga negara yang terlahir dari atau mempunyai ikatan       kekerabatan dengan keluarga kepala daerah petahana (incumbent) karena perkawinan"

kemudian di alinea lain:

"Dengan demikian telah jelas bahwa, sesuai dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, syarat untuk dapat membatasi pelaksanaan hak asasi bukan semata-mata bahwa pembatasan itu harus dilakukan dengan Undang-Undang, sebagaimana dijelaskan oleh pembentuk Undang-Undang (DPR dan Presiden) dalam perkara a quo. Seseorang yang karena kelahirannya atau karena memiliki hubungan kekerabatan dengan kepala daerah petahana tidaklah mengganggu hak atau kebebasan orang lain jika hendak mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Demikian pula, dengan mencalonkan diri sebagai kepala daerah, hal ini pun tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral, agama, keamanan maupun ketertiban umum. Dengan demikian, alasan bahwa larangan itu hanya berlaku sementara, yaitu selama belum terlampauinya jeda satu periode masa jabatan sebagaimana diterangkan oleh DPR, tidaklah menghilangkan substansi pertentangan ketentuan a quo dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945."

2. Implementasi Norma (Dinasti Politik akibat lemahnya pengawasan)

“Lagi pula, Presiden mengakui bahwa ketentuan sebagaimana termuat dalam Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 tidak dibutuhkan sekiranya sistem pengawasan oleh Bawaslu, sistem pengawasan oleh inspektorat, maupun sistem pengawasan oleh BPKP telah berjalan dengan baik. Dengan demikian, problem yang sesungguhnya adalah tidak optimalnya mekanisme pengawasan terhadap kepala daerah petahana oleh institusi-institusi yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan. “

3. Right to be candidate

“Dengan demikian Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Memang benar bahwa tidak setiap pembedaan serta-merta berarti diskriminasi. Namun, dalam kasus a quo, tampak nyata kalau pembedaan tersebut dibuat semata-mata didasari oleh maksud untuk mencegah kelompok orang tertentu (in casu anggota keluarga kepala daerah petahana) untuk menggunakan hak konstitusionalnya (in casu hak untuk dipilih atau mencalonkan diri, right to be candidate) dan dilakukan dengan cara yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945,”.

4. Potensi Multi tafsir dari frasa tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”; 

“Menurut Mahkamah, dalam keadaan demikian Pasal 7 huruf r UU 8/2015 tersebut akan sulit dilaksanakan dalam praktik, khususnya oleh Penyelenggara Pilkada. Sebab, pemaknaan terhadap frasa “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” itu berarti diserahkan kepada penafsiran setiap orang sesuai dengan kepentingannya. Dengan kata lain, dapat dipastikan bahwa tidak akan ada kesamaan pandangan terhadap frasa “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”. Akibatnya, tidak ada kepastian hukum. Padahal, kepastian hukum terhadap penafsiran frasa “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” itu menjadi penentu hak seseorang untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah yang dijamin oleh Konstitusi. Dengan demikian, telah terang bahwa apabila Pasal 7 huruf r UU 8/2015 dimaknai terlepas dari penjelasannya pun, hal itu tetap bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak memberi kepastian hukum yang potensial merugikan hak konstitusional warga negara, in casu hak untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah;”

Dan dalam hal Penjelasan Pasal a quo:

“Bahwa, khusus terhadap Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015, Mahkamah memandang perlu untuk kembali menegaskan bahwa penjelasan dari suatu ketentuan Undang-Undang akan menjadi bertentangan dengan UUD 1945 jika ia memuat atau merumuskan norma baru”

Dalam putusan  a quo Mahkamah memberikan catatan:

“Bahwa, dengan seluruh pertimbangan di atas bukan berarti Mahkamah menafikan kenyataan di mana kepala daerah petahana (incumbent) memiliki berbagai keuntungan, sebagaimana dikemukakan oleh Presiden, sehingga karenanya penting untuk dirumuskan pembatasan-pembatasan agar keuntungan-keuntungan itu tidak disalahgunakan oleh kepala daerah petahana untuk kepentingan dirinya (jika ia hendak mencalonkan diri kembali), anggota keluarganya, kerabatnya, atau kelompok-kelompok tertentu yang dekat dengannya. Namun, pembatasan demikian haruslah ditujukan kepada kepala daerah petahana itu, bukan kepada keluarganya, kerabatnya, atau kelompok-kelompok tertentu tersebut. Sebab, keuntungan-keuntungan itu melekat pada si kepala daerah petahana sehingga kemungkinan penyalahgunaannya juga melekat pada si kepala daerah petahana.”
           
          Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mencoba menyimpulkan bahwa sebenarnya Mahkamah melalui putusan ini mengembalikan hak hak politik warga negara yang pada dasarnya memang dilindungi oleh konstitusi. Pulihnya hak politik dimaksud adalah hak untuk mencalonkan diri (right to be candidate) bagi setiap warga negara karena sesuai dengan prinsip persamaan di hadapan hukum. Dinasti politik memang persoalan yang perlu diselesaikan karena dapat menghambat jalannya proses demokrasi di Indonesia. Namun pertanyaannya, apakah ini menjadi permasalahan konstitusionalitas?. Mahkamah menegaskan bahwa sebetulnya ini persoalan implementasi norma yang ada di tataran aplikatif. Khusus mengenai hak politik, nyata-nyata hak tersebut menjadi hak mutlak bagi warga negara yang tidak dapat dibatasi dengan alasan hubungan darah. “tidak ada seorang pun yang bisa meminta untuk dilahirkan menjadi anak siapa dan bersaudara siapa”.
            Jika dalam praktiknya di Indonesia dinasti politik yang dibangun menimbulkan kerugian besar karena perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme, maka ini adalah menjadi pekerjaan rumah bagi Negara dalam hal ini Pemerintah untuk melakukan mekanisme kontrol/pengawasan yang baik. Dengan demikian maka jalannya proses demokrasi di Indonesia tetap berkjalan dengan baik tanpa ada yang diciderai kepentingan dan hak-haknya.  



Selasa, 23 Juni 2015

Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan Menuju Indonesia Berkemajuan

            Perjalanan panjang telah menghantarkan  Indonesia melalui fase demi fase  sejarah. Jika kita sejenak menilik ke belakang, maka saya rasa kita akan bersepakat bahwa “perjuangan” adalah kata kunci dari kesemua rangkaian perjalanan  tersebut, karena berkat perjuangan yang telah dilakukan oleh pendahulu kita lah, saat ini kita bisa nikmati bersama hasilnya. Perjuangan guna mewujudkan cita-cita bangsa yaitu kemerdekaan pada waktu itu telah berhasil melibatkan berbagai macam elemen yang ada masyarakat. Pada masa itu pula lah persatuan dan kesatuan menjadi satu-satunya modal yang berharga bagi bangsa.
            Kehidupan kebangsaan di Indonesia nyata-nyata telah mengalami perubahan yang berangsur-angsur. Tatanan nilai dan perilaku kemudian juga berkembang dari masa ke masa mengikuti kehendak masyarakat. Ada perbaikan di satu sisi akan tetapi ada juga kemunduran di lain sisi. Saat ini, kepekaan kita sebagai elemen pembentuk peradaban perlu semakin ditingkatkan, karena suka atau tidak memang transformasi kehidupan kebangsaan sangatlah dibutuhkan demi terwujudnya Indonesia yang berkemajuan. Permasalahan yang kompleks tentu tidak bisa dielakkan dalam perjalanan kehidupan bangsa. Akan tetapi permasalahan tersebut bukan tidak mungkin untuk dapat deselesaikan dengan baik.
            Permasalahan bangsa saat ini meliputi banyak aspek, ekonomi, sosial dan juga hukum. Khusus dalam bidang hukum, seluruh lembaga yang berkaitan kewenangannya dengan hukum sedang berupaya keras membangun sebuah konstruksi yang jelas dan kuat guna tercapainya agar hukum itu sendiri dapat memberikan rasa keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat Indonesia. Hal tersebut didukung dengan situasi publik dimana saat ini masyarakat Indonesia sudah mulai mengenal hukum. Kesadaran masyarakat akan hak-haknya yang dapat diperjuangkan mulai muncul dan menariknya masyarakat pun sudah mulai paham akan system penegakkkan hukum di Indonesia.
            Kaitannya dengan hal tersebut yang nyata-nyata dapat dijadikan sebagai perwujudan Indonesia berkemajuan, ada beberapa contoh di masyarakat dalam upaya memperjuangkan haknya, antara lain, seorang buruh dalam hal ini Marthen Boiliu seorang ex satpam PT Sandhy Putra Makmur yang mengajukan permohonan Pengujian Pasal 96 Undang-Undang  Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan “Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak.”. Pemohon dalam hal ini merasa dirugikan dengan adanya ketentuan pasal tersebut, karena Pemohon dan beberapa rekan kerjanya yang bernasib sama tidak dapat mengambil pesangonnya karena sudah dianggap kadaluwarsa oleh perusahaan sesuai dengan ketentuan a quo. Mahkamah Konstitusi, dalam Putusan Perkara Nomor 100/PUU-VX/2012 akhirnya mengabulkan permohonan Pemohon a quo, sehingga dengan demikian tidak ada lagi aturan terkait daluwarsa dalam hal penuntutan hak pekerja yang timbul akibat hubungan kerja dimaksud. Dalam Pertimbangan Hukum nya, Mahkamah berpendapat “Bahwa upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja merupakan hak buruh yang harus dilindungi sepanjang buruh tidak melakukan perbuatan yang merugikan pemberi kerja. Oleh sebab itu upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja tidak dapat hapus karena adanya lewat waktu tertentu. Oleh karena apa yang telah diberikan oleh buruh sebagai prestatie harus diimbangi dengan upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja sebagai tegen prestatie. Upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja adalah merupakan hak milik pribadi dan tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun, baik oleh perseorangan maupun melalui ketentuan peraturan perundang-undangan.”. Berdasarkan permasalahan tersebut, kita dapat lihat bahwa konsep Indonesia Berkemajuan dalam bidang hukum khususnya perlindungan hak warga Negara dan persamaan kedudukan di depan hukum sudah berjalan.
            Contoh lain dari telah terkonstruksinya sebuah kehidupan kebangsaan yang baik dalam hal ini Indonesia Berkemajuan adalah dengan diputusnya perkara Pengujian Pasal 59 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 yang menyatakan, “TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan yang telah berakhir perjanjian kerjanya dan akan memperpanjang perjanjian kerja, TKI yang bersangkutan harus pulang terlebih dahulu ke Indonesia.”. Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon terkait dengan pengujian konstitusionalitas Pasal a quo dengan pertimbangan hukum yang menyatakan, “Menurut Mahkamah adalah kontra produktif jika ketentuan yang mengharuskan pulang terlebih dahulu ke Indonesia yang dimaksud oleh pasal tersebut ternyata justru menyulitkan TKI yang bersangkutan untuk kembali bekerja pada majikan yang sama, atau setidaknya memperoleh kembali pekerjaan dengan kualitas yang sama, padahal jika tidak pulang terlebihdahulu ke Indonesia TKI bersangkutan dapat bekerja pada majikan dan/atau kual;itas pekerjaan yang sama.” . Dari contoh tersebut lagi-lagi kita dapat pahami bahwa perlindungan hak warga Negara dan persamaan kedudukan di depan hukum sudah berjalan.
Bicara mengenai rekonstruksi kehidupan kebangsaan di Indonesia tentu tidak dapat dipisahkan dari diskursus-diskursus baik formil maupun forum bebas yang berkembang di masyarakat. “Berserikat dan berkumpul” yang termaktub jelas dalam UUD 1945 diimplementasikan dengan baik oleh masyarakat Indonesia dalam rangka menghimpun ide dan gagasan pembangunan bangsa agar lebih baik sehingga terwujudnya Indonesia Berkemajuan. Maka menjadi lumrah apabila bermunculan banyaknya organisasi masyarakat di Indonesia. Salah satunya adalah Muhammadiyah sebagai wadah aspirasi ummat. Muhammadiyah, telah menjadi bagian dari perjalanan sejarah dan telah memberikan banyak kontribusi dalam upaya rekonstruksi kehidupan kebangsaan menuju indonesia berkemajuan. Kita ketahui bersama bahwa sejak Muhammadiyah berdiri tahun 1912, Muhammadiyah telah nyata-nyata berhasil menjadi poros pergerakan perjuangan rakyat. Kauman, pada masa itu menjadi tempat berkembangnya ide dan pemikiran cerdas guna membangun Indonesia, sekaligus sebagai tempat berkumandangnya dakwah, sehingga harapan akan Negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat dapat beriringan dengan harapan terbentuknya sebuah pola kehidupan bangsa yang bernafas keislaman yang tajdid (kembali pada ajaran Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah). 
Hingga era sekarang ini Muhammadiyah telah menjadi bagian penting dalam perwujudan Indonesia Berkemajuan, Muhammadiyah tiada hentinya berjuang demi kepentingan umat. Muhammadiyah telah menjadi wadah untuk menampung segala macam keluhan atas permasalahan bangsa dan kemudian berupaya menjadi “problem solver” dari peliknya problematika yang dialami umat. Perjuangan atau jihad tidak bosannya dikumandangkan oleh Muhammadiyah guna melawan ketidakadilan di negeri tercinta ini. Oleh karena hal tersebut, Muhammadiyah menjadi rebutan para kontestan pemilu Presiden/Wakil Presiden, pemilu  legislatif, bahkan Pilkada, walaupun setelah mereka berhasil tidak jarang ditinggalkan lagi.
Perjuangan pun dilakukan melalui berbagai macam saluran yang ada. Hal yang paling menarik adalah perjuangan Muhammadiyah dalam rangka me-rekonstruksi kehidupan kebangsaan pada periode reformasi di bawah pimpinan H.M Amien Rais yang telah mampu mengubah sistem politik di Indonesia yang semula otoriter mengarah pada sistem demokrasi. H.M Amien Rais dikenang sebagai pendobrak orde baru, dan menghapus pemahaman pada paradigma bahwa UUD 1945 tidak bias diubah, karena nyatanya tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, berhasil melakukan perubahan UUD 1945 dengan sistem amandemen.
Lain lagi pada periode Din Syamsudin, yang antara lain untuk “merepresentasikan” rakyat menuntut keadilan atas hak-hak konstitusionalnya, Muhammadiyah saat ini sedang melakukan “jihad konstitusi”. Jihad Konstitusi ini sangat bermakna, sebab dalam konstitusi, hak dan kewajiban warga Negara diatur dengan sangat mendasar, baik dalam hal kepentingan pribadi, maupun kepentingan antar pribadi, bahkan jihad konstitusi dapat menyelamatkan bangsa dan negara dari cengkeraman asing maupun ego para penyelenggara Negara sebagai pengelola sumber daya alam yang banyak mengabaikan kesejahteraan untuk rakyat.
Jihad Konstitusi dimaksud, Alhamdulillah telah membuahkan hasil positif yang memberikan pengaruh signifikan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui pengujian konstitusionalitas beberapa UU yang mengatur kepentingan umat dan bangsa ke Mahkamah Konstitusi, Muhammadiyah berhasil memberikan sumbangsih berarti bagi masyarakat Indonesia. Hal demikian adalah perwujudan pengabdian Muhammadiyah sebagai wadah pergerakan yang mencerahkan umat.
Baru-baru ini, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pengujian konstitusionalitas yang dimohonkan oleh PP Muhammadiyah dan para Pemohon lainnya tentang UU yang mengatur Sumber Daya Air. Melalui pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan nomor 85/PUU-XI/2013, pendapat Mahkamah bersesuaian dengan  apa yang menjadi pokok permohonan  PP Muhammadiyah.  Mahkamah berpendapat bahwa perlu ada pembatasan yang ketat terhadap penguasaan sektor air oleh privat, yaitu yang pertama bahwa setiap pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu, mengesampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air, kedua adalah Negara harus memenuhi hak rakyat atas air, ketiga kaitannya dengan keharusan mengingat kelestarian lingkungan hidup, keempat adalah terkait pengawasan dan pengendalian oleh Negara atas air sifatnya mutlak dan yang kelima adalah terkait prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah BUMN atau BUMD. Putusan tersebut jelas telah memberikan perlindungan hak asasi dalam hal mendapatkan air untuk sebesar-sebesar kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat konstitusi.
Sebelum Putusan tersebut, PP Muhammadiyah juga telah berhasil melakukan pengujian konstitusionalitas UU MIGAS yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Nomor 36/PUU-X/2012. Dengan dikabulkannya  Putusan a quo, maka kemudian  memberikan efek yang besar terhadap pengelolaan kekayaan Negara. Hal yang paling menyita perhatian publik adalah dengan diputusnya permohonan tersebut maka BP MIGAS yang selama itu menjadi Badan Pengelola MIGAS dihapuskan serta terkait juga kemudian dengan Kontrak Kerja Sama (KKS) yang diupayakan oleh Negara dalam hal ini kerjasama MIGAS. Mahkamah dalam pendapat Mahkamah kemudian menegaskan tentang makna “penguasaan Negara” terhadap sektor MIGAS yaitu meliputi kebijakan (beleid), tindakan pengurusan (bestuurdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) yang kelimanya merupakan satu kesatuan rangkaian. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perijinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (consessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah. Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan 99 Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya Negara, c.q. Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat. Kesemuanya tentu sejalan dengan dasar konstitusional Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di didalamnya dikuasai oleh Negara dan dikelola untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Berdasarkan semua rangkaian pertimbangan hukum baik permasalahan efektifitas, efisiensi dan kedudukan Negara dalam hal pengelolaan MIGAS, maka dikabulkan oleh MK permohonan yang diajukan PP Muhammadiyah tersebut demi memenuhi rasa keadilan di masyarakat.
Jadi dari rangkaian tersebut, Muhammadiyah di bawah kepemimpinan H.M Amien Rais telah meletakkan dasar-dasar konstitusi dalam UUD 1945, dan dilanjutkan pada periode Din Syamsudin yang berjuang melalui jihad konstitusi.

Dengan demikian, nyata-nyata dapat kita lihat bahwa upaya-upaya rekonstruksi atau membangun ulang suatu tatanan kehidupan kebangsaan di Indonesia ini sedang dilaksanakan. Membangun kembali satu demi satu sistem kelola masyarakat agar terwujudnya cita-cita bersama rakyat Indonesia yaitu Indonesia yang berkemajuan. Dalam berbagai aspek kehidupan kebangsaan perlu adanya transformasi sehingga perbaikan-perbaikan segala sesuatu yang belum mapan menjadi terselesaikan. Keluarga besar Muhammadiyah tentunya wajib konsisten untuk turut serta dalam upaya pembangunan bangsa ini. Sebagai wadah aspirasi ummat maka diharapkan Muhammadiyah selalu dapat menjadi komponen bangsa yang akhirnya kelak mampu mewujudkan satu “Indonesia yang Berkemajuan”.  

Rabu, 17 Juni 2015

Membentuk Karakter dan Perspektif Pemuda Anti Korupsi.

Korupsi kian hari menjadi kata yang familiar kita dengar. Kasus-kasus hukum yang seringkali menjadi pemberitaan media tidak lain tidak bukan adalah kasus korupsi. Korupsi menjadi pekerjaan rumah yang belum juga berhasil dirampungkan secara tuntas. Korupsi juga seolah-olah menjadi kultur, karena lambat laun telah menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh pribadi-pribadi yang tidak bertangggung jawab di negeri ini. Dari masa ke masa korupsi telah menjadi momok bagi ide-ide pembangunan bangsa. Kesejahteraan rakyat yang menjadi cita-cita pembangunan bangsa menjadi sulit terwujud akibat praktik-praktik korupsi baik yang dilakukan elit negeri bahkan sampai ke jajaran bawah pemangku jabatan. Rakyat saat ini menjadi tergerogoti haknya, hak untuk menikmati hasil kekayaan dan hidup layak, semua itu terjadi karena praktik korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum yang serakah.
Menurut data Transparency International yang mengukur Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia di Tahun 2014, Indonesia menempati peringkat 107 dari 175 negara. Peringkat Indonesia masih berada di bawah rata-rata IPK negara-negara di kawasan ASEAN, Asia Pasifik, dan Komunitas G 20. Di ASEAN, Indonesia masih kalah dibanding Malaysia (peringkat 52), Singapura (peringkat 98), Thailand (peringkat 38), dan Filipina (peringkat 38). Berdasarkan data tersebut dapat kita pahami bahwa permasalahan korupsi ternyata masih menjadi pekerjaan rumah bagi kita bersama untuk menyelesaikannya.
Persoalan korupsi sebetulnya bukan hanya menjadi “local issue” di Indonesia saja, akan tetapi sudah sejak lama menjadi perhatian dunia. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pembukaan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Korupsi tahun 2003 (UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003) yang menyatakan, “Negara-negara Peserta Konvensi ini prihatin atas keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan  oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat, yang melemahkan lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta mengancam pembengunan berkelanjutan dan supremasi hukum.” Kemudian di paragraf lain meyatakan, “Meyakini, bahwa korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, melainkan suatu fenomena transnasional yang memengaruhi seluruh masyarakat dan ekonomi yang mendorong kerjasama internasional untuk mencegah dan mengontrolnya secara esensial”.
Pesan yang dapat kita tangkap dari kutipan bunyi paragraph pembukaan diatas adalah betapa seriusnya dunia dalam hal menyelesaikan permasalahan korupsi yang nyata-nyata telah menjadi hambatan besar bagi pembangunan dunia. Maka dari itulah korupsi masuk dalam kategori (extra ordinary crime) atau kejahatan luar biasa. Ada beberapa alasan yang mendasari korupsi menjadi kategori kejahatan luar biasa. Tiga alasan yang mendasari hal tersebut adalah:
Pertama, korupsi di Indonesia sifatnya transnasional. Yang terjadi dalam praktiknya, koruptor Indonesia banyak yang mengirim uangnya ke negara lain sehingga tentu saja dibutuhkan koordinasi antarnegara untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Kedua, pembuktian korupsi di Indonesia membutuhkan usaha ekstra keras. Seperti diketahui, 50 persen kasus korupsi bentuknya penyuapan. Koruptor menyuap tak mungkin menggunakan tanda terima atau kuitansi sehingga secara hukum, pembuktiannya cukup sulit.
Ketiga, dampak korupsi itu luar biasa. Misalnya dari sektor ekonomi, hutan Indonesia di luar negeri mencapai Rp 1.227 tiliun. Hutang ini dibayar tiga tahap, 2011 - 2016, 2016 - 2021, dan 2021 - 2042. "Masalahnya apakah kita dapat melunasinya pada 2042? sementara menjelang tahun itu banyak timbul hutang-hutan baru dari korupsi baru.
Indonesia dari masa ke masa telah melewati beberapa upaya dalam hal pemberantasan korupsi ini, baik pencegahan atau pun penyelesaian kasus-kasusnya. Momentum pemberantasan korupsi terjadi di era pasca reformasi yaitu dengan dibentuknya sebuah Komisi Pemberantasan Korupsi pada tahun 2002. Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (biasa disingkat KPK) adalah lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Komisi ini didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada PresidenDPR, dan BPK.
Selama kurun waktu tersebut, sudah banyak kasus-kasus korupsi yang diselesaikan oleh KPK  dan telah melibatkan berbagai pihak dari berbagai kalangan. Dengan berpegang teguh pada Undang-Undang, KPK tidak pandang bulu dalam upaya-upaya memberantas korupsi di Indonesia. Sesuai dengan hukum positif di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai pedomannya. Ketentuan dasar terkait dengan pemberantasan korupsi tersebut dapat dilihat dalam Pasal .. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan, Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara”. Berdasarkan pasal tersebut dapat dilihat jelas bahwa unsur-unsur dari tindak pidana korupsi adalah:
1.    Setiap orang;
2.    Melawan hukum;
3.    Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
4.    Merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara;
KPK tentunya tidak berjuang sendirian dalam hal pemberantasan korupsi, seluruh lapisan juga ikut berperan dalam upaya dimaksud.  Mahkamah Konstitusi pun tidak tinggal diam dan turut serta dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Tentunya Mahkamah Konstitusi “bicara” dan bertindak melalui putusannya yang menjunjung tinggi rasa keadilan. Dalam perjalanannya, Mahkamah Konstitusi telah memutus beberapa perkara yang ada kaitannya dengan pengujian Undang-Undang terkait korupsi baik 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kita ingat pada tahun 2009 MK pernah memutus perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dimohonkan oleh Chandra-Bibit selaku pimpinan KPK. Dalam amar hukum putusan perkara nomor 133/PUU-VII/2009 tersebut MK menyatakan bahwa pasal terkait dengan pemberhentian pimpinan KPK tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sehingga Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon. Lebih spesifik pesan yang disampaikan MK dalam pertimbangan hukum putusan a quo adalah sebagai berikut: “Bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenang yang luar biasa tersebut diperlukan karakter Pimpinan KPK yang luar biasa pula yakni memiliki integritas, jujur, akuntabel, transparan, dan menjunjung tinggi hukum. Hal ini dapat dilihat pada tahap seleksi calon Pimpinan KPK yang sangat ketat oleh panitia seleksi yang terdiri atas unsur pemerintah dan masyarakat yang independen (vide Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31 UU 30/2002). Untuk efektivitas tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya, KPK diposisikan oleh Undang-Undang sebagai lembaga negara yang independen dan bebas dari kekuasaan manapun (vide Pasal 3 UU 30/2002). Karakter sebagai lembaga yang independen inilah yang memungkinkan KPK dapat menjalankan fungsi sebagai “trigger mechanism” yakni sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi, yakni kepolisian dan kejaksaan (vide Penjelasan Umum UU 30/2002);”
Bicara soal penegakkan hukum di Indonesia, maka tidak bisa dipisahkan dari pembahasan mengenai sistem penegakkan hukum itu sendiri. Lawrence M Friedmann menjelaskan bahwa dalam hal penegakkan hukum harus memperhatikan 3 (tiga) hal pembentuk sistem hukum itu sendiri, yaitu  Pertama, struktur hukum sebagai pola yang memperlihatkan tentang bagaimana hukum itu dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya. Struktur ini memperlihatkan bagaimana pengadilan, pembuatan hukum dan lain-lain badan serta proses hukum itu berjalan dan dijalankan. Kedua, Substansi hukum,  yaitu peraturan-peraturan yang dipakai oleh para pelaku hukum pada waktu melakukan perbuatan-perbuatan serta hubungan-hubungan hukum. Ketiga, kultur hukum, yaitu kesadaran hukum dan budaya hukum masyarakat. Dari ketiga komponen tersebut, yang utama bagi Friedman adalah komponen kultur hukum, karena komponen inilah yang menjadi dasar sosiologis yang memberikan kualifikasi terhadap kedua komponen lainnya, yaitu struktur dan substansi.
Korupsi, saat ini seolah-olah telah menjadi “kultur” negatif di Indonesia, oleh karena itu maka kita akan mengaitkan kepada nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat antara korupsi dengan perspektif publik tentang korupsi itu sendiri,  karena menurut Prof. Satjipto Rahardjo  hukum itu bukan hanya bangunan peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita. Budaya penegakkan hukum tentunya tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan pola perilaku yang ada di masyarakat. Berkaitan dengan korupsi, kultur ini sebenarnya perlu ditangani dengan pendekatan preventif dan juga penaggulangannya.
Upaya preventif ini menjadi tanggung jawab kita bersama, baik praktisi maupun akademisi. Budaya antikorupsi setidaknya dapat menjadi solusi dalam rangka pencegahan tumbuh kembangnya pemahaman yang salah tentang korupsi. Pemahaman tentang korupsi sebagai kejahatan harus sudah ditanamkan sejak dini. Oleh karena itu maka sudah sepantasnya juga bila pendidikan antikorupsi ini digalakkan sejak dari bangku sekolah. Hal demikian menjadi penting karena pemuda adalah masa depan bangsa. Generasi adinda sekalianlah yang kelak akan memimpin bangsa ini di masa datang. Mentalitas yang baik, jujur dan bersih inilah yang wajib dimiliki oleh para pemuda saat ini. Pemuda adalah tulang punggung peradaban. Kemajuan dunia sangat erat berkaitan dengan sosok pemuda. Pernah suatu waktu, presiden pertama NKRI, Ir. Soekarno berbicara pada golongan pemuda waktu mereka berembuk untuk mempersiapkan kemerdekaan  negeri ini. Sambil bergurau beliau berkata: “Berikan kepadaku 10 pemuda seperti Anda, hai Syahrir, maka akan kuubah jalannya sejarah dunia ini”. Lain waktu beliau juga berujar : “Seribu orang tua hanya dapat bermimpi, satu orang pemuda dapat mengubah dunia.” Hal tersebut membuktikan betapa vitalnya peranan pemuda sebagai masa depan bangsa. Ide tentang perubahan dan perbaikan bangsa selalu muncul dari pemuda-pemuda berkarakter dan memiliki semangat menggelora dalam membangun bangsa.
Khusus, kaitannya dengan antikorupsi, kampus atau sekolah sekalipun sudah semestinya difungsikan sebagai “ladang pemikiran” yang kemudian hari buahnya dapat dinikmati bersama. Kampus dan sekolah menjadi tempat tumbuhnya pola pikir antikorupsi sehingga ketika lulus dari pendidikan formil maka adinda sekalian akan menjadi professional-profesional yang memiliki integritas, jujur dan bersih. Saat ini peran pemuda dalam kampanye antikorupsi cukup besar. Banyak organisasi masa, kelompok sosial, dan komunitas-komunitas yang dimotori oleh para pemuda muncul dalam pergerakan melawan korupsi.
Akan tetapi perlu kita sadari bersama memang tidak mudah menanamkan pemahaman anti korupsi terhadap pemuda Indonesia karena banyak juga pemuda yang kurang peduli, acuh tak acuh terhadap permasalahan korupsi. Hasil survei Integritas Anak Muda 2013 yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia pada Juli-Desember 2012, menyatakan bahwa di Jakarta, 60% anak muda tak mau mengadukan korupsi yang diketahuinya dan 40% anak muda merasa korupsi bukan urusan mereka. Hal ini cukup memberikan gambaran bahwa sebagian besar anak muda masih memandang sebelah mata terhadap isu korupsi. Bahkan boleh jadi sebagian diantaranya merasa bahwa korupsi adalah hal biasa yang dilakukan dan terlalu naif jika menyuarakan perlawanan terhadap korupsi. Pola pikir seperti ini tentu saja harus dihilangkan dari pemikiran para pemuda karena bisa berbahaya dan berlawanan terhadap peran pemuda sebagai agent of change (agen perubahan).

Dari kesemua uraian yang saya sampaikan, maka dapatlah kita simpulkan bersama bahwa korupsi ini adalah bahaya bagi negeri  ini yang harus kita tangkal. Upaya pemberantasan korupsi tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah melalui KPK saja, Lembaga Peradilan atau lembaga perwakilan sebagai pembentuk Undang-Undang saja, akantetapi juga tanggung jawab kita bersama. Pemahaman antikorupsi haruslah sudah dipahami dan diamalkan oleh seluruh lapisan masyarakat dan terutama seluruh pemuda Indonesia. Untuk itu melalui acara ini diharapkan peserta dapat benar-benar memahami sikap antikorupsi dan kemudian pemuda dapat menjadi agen perubahan yang kelak juga akan menjadi pemimpin pemimpin bangsa yang berkarakter dan memiliki perspektif anti korupsi yg baik serta berintegritas.

Selasa, 09 Juni 2015

PRINSIP –PRINSIP PASAL 33 UUD 1945 DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

1.    Putusan Nomor I/PUU-I/2003 (Ketenagalistrikan):
Perkataan “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif). Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat;
Menimbang bahwa di samping itu, untuk menjamin prinsip efisiensi berkeadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, yang menyatakan, “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional“, maka penguasaan dalam arti pemilikan privat itu juga harus dipahami bersifat relatif dalam arti tidak mutlak selalu harus 100%, asalkan penguasaan oleh negara c.q. Pemerintah atas pengelolaan sumber-sumber kekayaan dimaksud tetap terpelihara sebagaimana mestinya. Meskipun Pemerintah hanya memiliki saham mayoritas relatif, asalkan tetap menentukan dalam proses pengambilan keputusan atas penentuan kebijakan dalam badan usaha yang bersangkutan, maka divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha milik negara yang bersangkutan tidak dapat dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi, sepanjang privatisasi itu tidak meniadakan penguasaan negara c.q. Pemerintah untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Pasal 33 UUD 1945 juga tidak menolak ide kompetisi di antara para pelaku usaha, sepanjang kompetisi itu tidak meniadakan penguasaan oleh negara yang mencakup kekuasaan untuk mengatur (regelendaad), mengurus (bestuursdaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi (toezichthoudensdaad) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang mengusai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesarbesarnya kemakmuran rakyat;
Menimbang bahwa Mahkamah berpendapat pembuat undang-undang juga menilai bahwa tenaga listrik hingga saat ini masih merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga oleh karenanya menurut pasal 33 ayat (2) UUD 1945 harus tetap dikuasai oleh negara, dalam arti harus dikelola oleh negara melalui perusahaan negara yang didanai oleh pemerintah (negara) atau dengan kemitraan bersama swasta nasional atau asing yang menyertakan dana pinjaman dari dalam dan luar negeri atau dengan melibatkan modal swasta nasional/asing dengan sistem kemitraan yang baik dan saling menguntungkan. Hal ini berarti bahwa hanya BUMN yang boleh mengelola usaha tenaga listrik, sedangkan perusahaan swasta nasional atau asing hanya ikut serta apabila diajak kerjasama oleh BUMN, baik dengan kemitraan, penyertaan saham, pinjaman modal dan lain-lain. Persoalannya adalah apakah yang dimaksud dengan perusahaan negara pengelola tenaga listrik hanyalah BUMN, dalam hal ini PLN, ataukah bisa dibagi dengan perusahaan negara yang lain, bahkan dengan perusahaan daerah (BUMD) sesuai dengan semangat otonomi daerah? Mahkamah berpendapat, jika PLN memang masih mampu dan bisa lebih efisien, tidak ada salahnya jika tugas itu tetap diberikan kepada PLN, tetapi jika tidak, dapat juga berbagi tugas dengan BUMN lainnya atau BUMD dengan PLN sebagai “holding company”.
2.    Putusan Nomor 85/PUU-XI/2013 (Sumber Daya Air):
Mengenai hak warganegara atas air yang berdasarkan putusan tersebut bersesuaian dengan Pasal 33 UUD 1945. Dalam Putusan 85/PUU-XI/2013 liberalisasi dihapuskan dengan kriteria-kriteria yaitu: pertama bahwa setiap pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu, mengesampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air, kedua adalah Negara harus memenuhi hak rakyat atas air, ketiga kelestarian lingkungan hidup, keempat terkait pengawasan dan pengendalian oleh Negara atas air sifatnya mutlak dan yang kelima adalah terkait prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah BUMN atau BUMD. Apabila setelah semua pembatasan tersebut sudah terpenuhi dan ternyata masih ada ketersediaan air, Pemerintah masih dimungkinkan untuk memberikan izin kepada usaha swasta untuk melakukan pengusahaan atas air dengan syarat-syarat tertentu dan ketat. Putusan tersebut jelas telah memberikan perlindungan hak asasi dalam hal mendapatkan air untuk sebesar-sebesar kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat konstitusi. Putusan tersebut berkenaan dengan penegakkan hukum dan hak-hak dasar warganegara.
3.    Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 (MIGAS):

Mahkamah dalam pendapat Mahkamah kemudian menegaskan tentang makna “penguasaan Negara” terhadap sektor MIGAS yaitu meliputi kebijakan (beleid), tindakan pengurusan (bestuurdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) yang kelimanya merupakan satu kesatuan rangkaian. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perijinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (consessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah. Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan 99 Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya Negara, c.q. Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat. Kesemuanya tentu sejalan dengan dasar konstitusional Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di didalamnya dikuasai oleh Negara dan dikelola untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Berdasarkan semua rangkaian pertimbangan hukum baik permasalahan efektifitas, efisiensi dan kedudukan Negara dalam hal pengelolaan MIGAS.

Mengupas Akar Radikalisme, Terorisme dan ISIS

Saudara sekalian, kita ketahui bersama saat ini dunia sedang diguncang oleh issue radikalisme. Gerakan-gerakan separatis yang berlatarbelakang radikalisme begitu menjamur belakangan ini.  Sebetulnya hal demikian tidak hanya terjadi dalam era sekarang saja karena dalam perjalanan sejarah beberapa Negara di dunia tidak dapat dilepaskan dengan peristiwa pergerakan organisasi radikal. Secara luas, radikalisme ini tidak hanya menjangkit pada salah satu agama atau keyakinan saja, tetapi radikalisme muncul dan berkembang dalam berbagai macam versi.
Beberapa Negara pernah dan sedang menghadapi problem radikalisme tersebut. Misalnya saja di India, gerakan Kelompok Hindu radikal, Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS) yang kerap melakukan penyerangan pertemuan ibadah Minggu sebuah persekutuan doa umat kristen di barat daya Karnataka, di selatan India. Tahun 2014 di Republik Afrika Tengah memanas ketika pejuang Seleka yang mayoritas Muslim menggulingkan presiden Francois Bozize, seorang Kristen yang memperoleh kekuasaan dalam kudeta 2003. Para pejuang Muslim kemudian menempatkan Michel Djotodia, seorang Muslim, sebagai presiden sementara. Hal tersebut tidak dapat diterima oleh kelompok Kristen Radikal yang kemudian kerap kali melakukan penyerangan terhadap mesjid-mesjid di Republik Afrika Tengah. Di Israel Sebanyak 14 serangan oleh terduga kaum ekstremis kanan Yahudi sebagai kelompok radikal telah dilakukan.  Beberapa serangan dilakukan selama satu bulan terakhir, termasuk sebuah ancaman kematian yang ditulis dalam bahasa Ibrani ke Majelis Uskup di Notre Dame Centre di Jerusalem Timur. Tahun 2013 kelompok Buddha radikal di Sri Lanka menuntut dihapuskannya sistem sertifikasi makanan halal. Kelompok radikal ini menuduh umat Islam dan Kristen mempromosikan ekstremisme dan mencoba menggoyahkan keimanan umat Buddha.
Fakta-fakta demikian yang kemudian menjadi kekhawatiran masyarakat di seluruh dunia. Karena hal tersebut kadangkala disalah artikan oleh masyarakat untuk menstigmakan agama erat berhubungan dengan terorisme. Perang, kekerasan, dan pengrusakan selalu dikaitkan dengan agama sebagai alasannya. Untuk itu, radikalisme ini adalah bahaya bersama bagi seluruh umat beragama. Radikalisme merupakan ancaman besar bagi perdamaian dunia. Cita-cita untuk menciptakan suatu pola peradaban yang damai dan sejahtera menjadi sulit diwujudkan jika masih ada gerakan-gerakan yang didasari dengan motif kebencian dan kecurigaan berlebihan terhadap perbedaan.
Radikalisme secara harfiah berarti “ 1 paham atau aliran yg radikal dl politik; 2 paham atau aliran yg menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dng cara kekerasan atau drastis; 3 sikap ekstrem dalam aliran politik. Melihat dari konteks gramatikal jika dikaitkan dengan apa yang terjadi saat ini maka radikalisme bisa diartikan sebagai paham ekstrem dalam menganut dan menjalankan suatu keyakinan. Khusus terkait hal radikalisme dalam agama secara historis memang muncul sebagai fenomena global yang menjadi persoalan yang harus diselesaikan. Radikalisme sendiri sudah muncul pada sejak lama dan kemudian berkembang pada masa peradaban modern dengan dalih perubahan pola pikir.
Dalam era peradaban modern, paham radikal tersebut begitu cepat tumbuh berkembang di seluruh dunia. Radikalisme sesungguhnya muncul akibat berkembangnya pergaulan dunia yang secara otomatis mengakibatkan percampuran kultur antar bangsa. Hal tersebut yang menyebabkan pemahaman akan faham-faham konservatif menjadi sedikit demi sedikit terbarukan dengan adanya pembauran dengan budaya-budaya barat. Akan tetapi akulturasi bagi sebagian kaum konservatif dianggap sebagai proses yang membahayakan kemurnian ajaran itu sendiri. Kaum-kaum radikal inilah yang kemudian menutup diri terhadap masuknya budaya selain dari yang diamanatkan ajarannya dalam suatu pola kehidupan sosial. Kaum radikal menginginkan kembalinya kemurnian suatu ajaran yang dijadikan satu-satunya pedoman. Hal tersebutlah yang memicu perkembangan muculnya organisasi radikal di berbagai Negara.
Radikalisme tentu akan memicu upaya-upaya perlawanan yang membahayakan, hal demikian mengakibatkan hilangnya rasa aman di masyarakat dunia, bahkan seringkali ancaman-ancaman kerap mewarnai aktifitas gerakan-gerakan radikal tersebut. Ancaman-ancaman tersebut menjadi terror yang merusak perdamaian, keamanan dan ketenteraman hidup. Seolah menjadi kebiasaan yang mengakar dari kelompok-kelompok tersebut, maka kita kenal sekarang adanya kelompok teroris yang menanamkan terorisme sebagai faham dalam upaya-upayanya untuk mencapai sebuah tujuan. Keinginan yang besar dari suatu kelompok untuk memaksakan ideologinya dilakukan dengan berbagai cara seperti pemberontakan lewat perlawanan dengan kekerasan sebagai tradisinya. Terorisme yang dianut guna mencapai tujuannya tersebut seringkali memakan korban dan menumpahkan darah orang-orang yang tidak bersalah. Bagi mereka, orang-orang yang tidak sepaham wajib dimusuhi bahkan tidak jarang layak dibunuh. Pola pikir yang seperti inilah yang seharusnya diubah total. Kerusakan fundamental terjadi pada pribadi-pribadi yang kehilangan arah tersebut. Untuk itu dunia tidak henti-hentinya melakukan perlawanan terhadap radikalisme dan terorisme.  Issue pencegahan dan pemberantasan terorisme acapkali menjadi issue utama dalam konferensi-konferensi internasional.
Indonesia, saat ini sadar betul bahwa radikalisme merupakan gerakan-gerakan radikal yang menjurus kepada terorisme yang membahayakan dan dapat mengganggu stabilitas keamanan nasional. Untuk itu, Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah baik preventif maupun represif. Pasca beberapa peristiwa pengeboman, Pembentuk Undang-Undang pada masa itu mulai menyusun Undang-Undang yang mengatur mengenai upaya-upaya pencegahan dan juga penanggulangan terrorisme. Pada tahun 2002 tepatnya setelah tragedi “bom bali” keluarlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian disusul dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Alasan yang mendasari dibentuknya PERPPU tersebut adalah komitmen nasional dan internasional untuk menghentikan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional akibat terrorisme. Kemudian di Tahun 2013, PERPPU tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2013 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang ditambah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang yang kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Nomor 13/PUU-I/2003.
Pada tahun 2006, Indonesia telah berhasil meratifikasi Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme yaitu dengan dikeluarkannnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengesahan International Convention For The Suppression Of The Financing Of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999). Hal tersebut merupakan terobosan positif yang dilakukan dunia internasional untuk membendung gerakan terrorisme, karena dengan menghentikan laju pendanaannnya maka gerakan-gerakan terroris menjadi terbatas. Upaya Indonesia dalam hal pemberantasan terrorisme mendapat perhatian dari Negara lain. Hal tersebut terbukti dengan disahkannya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Pengesahan Memorandum Saling Pengertian Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Federasi Rusia Tentang Kerjasama Di Bidang Pemberantasan Terrorisme (Memorandum Of Understanding Between The Government Of The Republic Of Indonesia Anda The Government Of The Russian Federation On Cooperation In Combating Terrorism).
Langkah konkrit yang diwujudkan oleh Pemerintah adalah dengan dibentuknya  Badan Nasional Penanggulangan Terorisme berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 dan telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010. BNPT memiliki tugas: Menyusun kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme; Mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam pelaksanaan dan melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme; Melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme dengan membentuk satuan-satuan tugas yang terdiri dari unsur-unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing. Diharapkan dengan adanya badan khusus, dapat menanggulangi permasalahan radikalisme dan terorisme yang berkembang di Indonesia. Keaktifan Indonesia dalam upaya pemberantasan terrorisme ini terus berlanjut di Tahun 2012 diterbitkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Asean Convention On Counter Terrorism (Konvensi ASEAN mnegenai Pemberantasan Terrorisme). Tahun 2013 terbit Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terrorisme dan di Tahun 2014 terbit secara khusus Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2014 Tentang Pengesahan International Convention For The Suppression Of Acts Of Nuclear Terrorism (Konvensi Internasional Penanggulangan Tindakan Terrorisme Nuklir). Hal-hal tersebut membuktikan betapa pentingnya upaya pencegahan dan pemberantasan terrorisme dilakukan oleh Pemerintah Indonesia bahkan dalam ruang lingkup yang lebih luas, yaitu dunia internasional.
Dewasa ini issue global terkait dengan gerakan radikal adalah tentang ISIS. Secara historis semua bermula sejak revolusi Suriah di tahun 2011, sebagian pejuang asal Suriah dari Irak kembali ke Suriah untuk melawan rezim Presiden Bashar Al Assad dengan kemudian membentuk Jabhat Al Nusrah (JN) yang merupakan kelompok terbesar dari pejuang Suriah. Sedikit demi sedikit beberapa kota mulai dibebaskan dan kemudian setelah banyak kota dibebaskan tiba-tiba pemimpin mereka yaitu Abu Bakar Al Baghdady menghapus JN dan merubahnya menjadi Daulah Islam Iraq dan Syam atau yang kemudian kita kenal dengan ISIS (Islamic State in Iraq and Syam). AKan tetapi dalam perjalanannya, ISIS banyak melakukan tindakan-tindakan terror yang menyimpang dari syariah itu sendiri. Berikut ini beberapa hal yang dilakukan ISIS:
1.    Sikap mengkafirkan orang lain yang tidak sekelompok dengan ISIS walaupun mereka adalah muslim yang benar, dan menghalalkan darahnya;
2.    Menyerang pejuang/mujahidin Surian dari kelompok lain seperti JN, Ahrarus Syam, Jabhat Al Islamiyah dll, sehingga malah memecah konsentrasi para pejuang sunny dalam melawan kekejaman tentara presiden Bashar Al Assad;
3.    Menolak Mahkamah Syariah yang digagas para ulama netral untuk mengadili mujahidin yang terlibat bentrokan ketika terjadi perselisihan diantara pejuang Suriah;
4.    Menolak perintah Al-Qaidah untuk kembali ke Iraq, dan malah menuduh balik Al-Qaidah dengan tuduhan-tuduhan negatif;
5.    Berlebih-lebihan (Ghuluw) dalam hal menghukum, seperti memenggal kepala, menyalib, membakar dan lain-lain yang dilarang dalam manhaj islam yang lurus (termasuk menghukum orang yang sudah mendapat jaminan keamanan, padahal dalam syariah tidak diperbolehkan).
Saat ini, disinyalir sebagian warga Indonesia yang pernah bermukim di Baghdad, Irak pasca jatuhnya Saddam Husain, ada yang bergabung dalam gerakan radikal ISIS. Warga Indonesia itu adakalanya berasal dari keluarga TKI/ TKW yang bekerja di Irak dan Syam (Suriah), namun terkadang sengaja berangkat ke Irak dan Suriah untuk menjadi relawan perang, guna melawan musuh-musuh ISIS baik dari kalangan kaum kafir (AS dan sekutunya) maupun kaum muslimin yang dianggap berlawanan dengan aqidah dan politik ISIS. Yang mencemaskan adalah akhir-akhir ini di Indonesia mulai dideklarasikan pendirian cabang Khilafah Islamiyah versi ISIS ini di beberapa daerah, seperti di Jakarta, Bandung, Solo, Jawa Timur dan lainnya yang dilakukan oleh para simpatisan ISIS, dan dimotori oleh para mantan mukimin Irak dan Suriah tersebut.
Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin menilai ISIS sebagai organisasi pergerakan yang berpaham radikal, menggunakan kekerasan demi memperjuangkan yang diyakininya. Umat Islam Indonesia harus mendukung upaya negara untuk mencegah meluasnya gerakan tersebut di tanah air dan tidak terpengaruh. ”Mengangkat sumpah dan berjanji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing itu bisa menyebabkan orang kehilangan kewarganegaraan RI. Kita harus dukung aparat penegak hukum untuk bekerja profesional dalam menanganinya,” ujar Lukman. Untuk itu sebaiknya umat Islam Indonesia mawas diri. Dakwah Islam hendaknya dilakukan dengan mengajak dan merangkul semua kalangan lewat cara-cara yang baik dan penuh hikmah, tidak dengan menebar ketakutan dan kekerasan. Di era globalisasi ini, kita harus mampu memperkuat diri sendiri guna menangkal anasir yang bisa mengusik keutuhan kita sebagai sesama umat beragama, berbangsa, dan bernegara.
Kepala BNPT Ansyaad Mbai juga menegaskan bahwa pemerintah Suriah telah menetapkan ISIS sebagai kelompok teroris. Iran juga minta bantuan AS untuk menangkal serangan ISIS. “Sekjen PBB serta negara-negara Eropa melarang keras warganya pergi ke daerah tersebut.” Maka menurut Ansyaad, bila ada Warga Negara Indonesia (WNI) yang bergabung dengan kelompok tersebut bisa dikatakan anggota teroris. Apalagi, BNPT telah mendapatkan laporan di sejumlah daerah mengenai kegiatan berbaiat kelompok ISIS. Daerah itu meliputi Jakarta, Bima, Kalimantan dan Sulawesi. Oleh karena hal-hal yang demikian, maka seyogyanya kita sebagai muslim dan warga Negara yang baik dapat saling bekerjasama untuk mencegah dan mengantisipasi gerkan radikal yang justru membahayakan keutuhan NKRI.
Bicara soal radikalisme dan terrorisme maka tidak bisa dilepaskan juga dengan separatisme. Upaya yang dilakukan kelompok-kelompok radikal memiliki tujuan untuk memperoleh pengakuan bahwa ideologinya yang paling benar, sampai-sampai kelompok tersebut siap melakukan perlawanan atau bahkan menyatakan perang terhadap status quo demi mengganti ideologi sebuah Negara. Tentu kita belum lupa dengan apa yang terjadi di Aceh, Maluku Selatan dan Papua. Radikalisme yang berujung pada separatisme yaitu keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI sangat menggannggu stabilitas keamanan nasional. Selain itu, harus disayangkan apabila harus ada pertumpahan darah sesama saudara sebangsa dan setanah air hanya karena keinginan dan egoisme untuk membangun suatu tatanan bernegara yang baru berdasarkan ideologinya. Untuk itu perlu dipahami bersama oleh seluruh masyarakat Indonesia bahwa Pancasila sebagai ideologi bangsa patut dijaga, persatuan dan kesatuan demi utuhnya NKRI menjadi harga mati bagi kita semua.
Radikalisme, terrorisme dan separatisme menjadi gangguan yang harus segera diberantas, dan hal ini menjadi bagian dari tanggung jawab penegak hukum. Tak terkecuali bagi Hakim Konstitusi. Mahkamah Konstitusi telah memutus beberapa perkara yang berkaitan dengan terorisme dan penodaan agama., dan dalam putusan tersebut memuat pertimbangan hukum dan pendapat Mahkamah mengenai permasalahan radikalisme dan terorisme di Indonesia. Jika di Indonesia radikalisme sering berkaitan dengan issue SARA terutama agama, maka Mahkamah Konstitusi pernah memberikan pendapat melalui putusannya, antara lain, “...bahwa setiap agama memiliki pokok-pokok ajaran yang diterima umum pada internal agama tersebut, oleh karena itu yang menentukan pokok-pokok ajaran agama adalah pihak internal agama masing-masing. Indonesia sebagai sebuah negara yang menganut paham agama tidak dipisahkan dari negara, memiliki Departemen Agama yang melayani dan melindungi tumbuh dan berkembangnya agama dengan sehat, dan Departemen Agama memiliki organisasi serta perangkat untuk menghimpun berbagai pendapat dari internal suatu agama. Jadi dalam hal ini negara tidak secara otonom menentukan pokokpokok ajaran agama dari suatu agama, akan tetapi hanya berdasarkan kesepakatan dari pihak internal agama yang bersangkutan”.

Sebenarnya permasalahan radikalisme adalah permasalahan ideologi yang penyebarannya sulit dideteksi. Pemahaman ini sangat mudah ditularkan dari satu orang ke orang yang lain. Melalui diskursus yang tidak dikawal dengan baik oleh para ahli menjadi sangat rawan untuk disusupi cara-cara berfikir radikal. Terutama dalam hal pendidikan bagi remaja. Remaja seringkali dijadikan objek/sasaran bagi penyebar radikalisme. Remaja memiliki rasa keingintahuan yang besar, sehingga memiliki minat belajar yang tinggi pula. Oleh karena hal tersebut, perlunya bimbingan yang tepat bagi mereka agar mereka tidak mendapatkan ilmu dari pihak-pihak yang kurang tepat. Maka dari itu bagi seluruh muslimin dan muslimat di Salatiga khususnya, rasa keingintahuan adalah hal positif, namun dalam hal proses pendalaman ilmu tersebut tetap harus meminta pertimbangan dan nasihat dari pengajar-pengajar saudara-saudara sekalian. Hal yang paling wajib dipahami oleh kita bersama adalah pentingnya dijunjung tenggang rasa dan saling menghargai satusama lain demi terjaganya keutuhan NKRI yang kita cintai ini.

Membendung Radikalisme dan Terorisme demi keutuhan NKRI

Saudara sekalian, kita ketahui bersama saat ini dunia sedang diguncang oleh issue radikalisme. Gerakan-gerakan separatis yang berlatarbelakang radikalisme begitu menjamur belakangan ini.  Sebetulnya hal demikian tidak hanya terjadi dalam era sekarang saja karena dalam perjalanan sejarah beberapa Negara di dunia tidak dapat dilepaskan dengan peristiwa pergerakan organisasi radikal. Secara luas, radikalisme ini tidak hanya menjangkit pada salah satu agama atau keyakinan saja, tetapi radikalisme muncul dan berkembang dalam berbagai macam versi.
Beberapa Negara pernah dan sedang menghadapi problem radikalisme tersebut. Misalnya saja di India, gerakan Kelompok Hindu radikal, Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS) yang kerap melakukan penyerangan pertemuan ibadah Minggu sebuah persekutuan doa umat kristen di barat daya Karnataka, di selatan India. Tahun 2014 di Republik Afrika Tengah memanas ketika pejuang Seleka yang mayoritas Muslim menggulingkan presiden Francois Bozize, seorang Kristen yang memperoleh kekuasaan dalam kudeta 2003. Para pejuang Muslim kemudian menempatkan Michel Djotodia, seorang Muslim, sebagai presiden sementara. Hal tersebut tidak dapat diterima oleh kelompok Kristen Radikal yang kemudian kerap kali melakukan penyerangan terhadap mesjid-mesjid di Republik Afrika Tengah. Di Israel Sebanyak 14 serangan oleh terduga kaum ekstremis kanan Yahudi sebagai kelompok radikal telah dilakukan.  Beberapa serangan dilakukan selama satu bulan terakhir, termasuk sebuah ancaman kematian yang ditulis dalam bahasa Ibrani ke Majelis Uskup di Notre Dame Centre di Jerusalem Timur. Tahun 2013 kelompok Buddha radikal di Sri Lanka menuntut dihapuskannya sistem sertifikasi makanan halal. Kelompok radikal ini menuduh umat Islam dan Kristen mempromosikan ekstremisme dan mencoba menggoyahkan keimanan umat Buddha.
Fakta-fakta demikian yang kemudian menjadi kekhawatiran masyarakat di seluruh dunia. Karena hal tersebut kadangkala disalah artikan oleh masyarakat untuk menstigmakan agama erat berhubungan dengan terorisme. Perang, kekerasan, dan pengrusakan selalu dikaitkan dengan agama sebagai alasannya. Untuk itu, radikalisme ini adalah bahaya bersama bagi seluruh umat beragama. Radikalisme merupakan ancaman besar bagi perdamaian dunia. Cita-cita untuk menciptakan suatu pola peradaban yang damai dan sejahtera menjadi sulit diwujudkan jika masih ada gerakan-gerakan yang didasari dengan motif kebencian dan kecurigaan berlebihan terhadap perbedaan.
Radikalisme secara harfiah berarti “ 1 paham atau aliran yg radikal dl politik; 2 paham atau aliran yg menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dng cara kekerasan atau drastis; 3 sikap ekstrem dalam aliran politik. Melihat dari konteks gramatikal jika dikaitkan dengan apa yang terjadi saat ini maka radikalisme bisa diartikan sebagai paham ekstrem dalam menganut dan menjalankan suatu keyakinan. Khusus terkait hal radikalisme dalam agama secara historis memang muncul sebagai fenomena global yang menjadi persoalan yang harus diselesaikan. Radikalisme sendiri sudah muncul pada sejak lama dan kemudian berkembang pada masa peradaban modern dengan dalih perubahan pola pikir.
Dalam era peradaban modern, paham radikal tersebut begitu cepat tumbuh berkembang di seluruh dunia. Radikalisme sesungguhnya muncul akibat berkembangnya pergaulan dunia yang secara otomatis mengakibatkan percampuran kultur antar bangsa. Hal tersebut yang menyebabkan pemahaman akan faham-faham konservatif menjadi sedikit demi sedikit terbarukan dengan adanya pembauran dengan budaya-budaya barat. Akan tetapi akulturasi bagi sebagian kaum konservatif dianggap sebagai proses yang membahayakan kemurnian ajaran itu sendiri. Kaum-kaum radikal inilah yang kemudian menutup diri terhadap masuknya budaya selain dari yang diamanatkan ajarannya dalam suatu pola kehidupan sosial. Kaum radikal menginginkan kembalinya kemurnian suatu ajaran yang dijadikan satu-satunya pedoman. Hal tersebutlah yang memicu perkembangan muculnya organisasi radikal di berbagai Negara.
Radikalisme tentu akan memicu upaya-upaya perlawanan yang membahayakan, hal demikian mengakibatkan hilangnya rasa aman di masyarakat dunia, bahkan seringkali ancaman-ancaman kerap mewarnai aktifitas gerakan-gerakan radikal tersebut. Ancaman-ancaman tersebut menjadi terror yang merusak perdamaian, keamanan dan ketenteraman hidup. Seolah menjadi kebiasaan yang mengakar dari kelompok-kelompok tersebut, maka kita kenal sekarang adanya kelompok teroris yang menanamkan terorisme sebagai faham dalam upaya-upayanya untuk mencapai sebuah tujuan. Keinginan yang besar dari suatu kelompok untuk memaksakan ideologinya dilakukan dengan berbagai cara seperti pemberontakan lewat perlawanan dengan kekerasan sebagai tradisinya. Terorisme yang dianut guna mencapai tujuannya tersebut seringkali memakan korban dan menumpahkan darah orang-orang yang tidak bersalah. Bagi mereka, orang-orang yang tidak sepaham wajib dimusuhi bahkan tidak jarang layak dibunuh. Pola pikir yang seperti inilah yang seharusnya diubah total. Kerusakan fundamental terjadi pada pribadi-pribadi yang kehilangan arah tersebut. Untuk itu dunia tidak henti-hentinya melakukan perlawanan terhadap radikalisme dan terorisme.  Issue pencegahan dan pemberantasan terorisme acapkali menjadi issue utama dalam konferensi-konferensi internasional.
Indonesia, saat ini sadar betul bahwa radikalisme merupakan gerakan-gerakan radikal yang menjurus kepada terorisme yang membahayakan dan dapat mengganggu stabilitas keamanan nasional. Untuk itu, Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah baik preventif maupun represif. Pasca beberapa peristiwa pengeboman, Pembentuk Undang-Undang pada masa itu mulai menyusun Undang-Undang yang mengatur mengenai upaya-upaya pencegahan dan juga penanggulangan terrorisme. Pada tahun 2002 tepatnya setelah tragedi “bom bali” keluarlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian disusul dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Alasan yang mendasari dibentuknya PERPPU tersebut adalah komitmen nasional dan internasional untuk menghentikan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional akibat terrorisme. Kemudian di Tahun 2013, PERPPU tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2013 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang ditambah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang yang kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Nomor 13/PUU-I/2003.
Pada tahun 2006, Indonesia telah berhasil meratifikasi Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme yaitu dengan dikeluarkannnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengesahan International Convention For The Suppression Of The Financing Of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999). Hal tersebut merupakan terobosan positif yang dilakukan dunia internasional untuk membendung gerakan terrorisme, karena dengan menghentikan laju pendanaannnya maka gerakan-gerakan terroris menjadi terbatas. Upaya Indonesia dalam hal pemberantasan terrorisme mendapat perhatian dari Negara lain. Hal tersebut terbukti dengan disahkannya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Pengesahan Memorandum Saling Pengertian Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Federasi Rusia Tentang Kerjasama Di Bidang Pemberantasan Terrorisme (Memorandum Of Understanding Between The Government Of The Republic Of Indonesia Anda The Government Of The Russian Federation On Cooperation In Combating Terrorism).
Langkah konkrit yang diwujudkan oleh Pemerintah adalah dengan dibentuknya  Badan Nasional Penanggulangan Terorisme berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 dan telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010. BNPT memiliki tugas: Menyusun kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme; Mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam pelaksanaan dan melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme; Melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme dengan membentuk satuan-satuan tugas yang terdiri dari unsur-unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing. Diharapkan dengan adanya badan khusus, dapat menanggulangi permasalahan radikalisme dan terorisme yang berkembang di Indonesia. Keaktifan Indonesia dalam upaya pemberantasan terrorisme ini terus berlanjut di Tahun 2012 diterbitkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Asean Convention On Counter Terrorism (Konvensi ASEAN mnegenai Pemberantasan Terrorisme). Tahun 2013 terbit Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terrorisme dan di Tahun 2014 terbit secara khusus Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2014 Tentang Pengesahan International Convention For The Suppression Of Acts Of Nuclear Terrorism (Konvensi Internasional Penanggulangan Tindakan Terrorisme Nuklir). Hal-hal tersebut membuktikan betapa pentingnya upaya pencegahan dan pemberantasan terrorisme dilakukan oleh Pemerintah Indonesia bahkan dalam ruang lingkup yang lebih luas, yaitu dunia internasional.
Bicara soal radikalisme dan terrorisme maka tidak bisa dilepaskan juga dengan separatisme. Upaya yang dilakukan kelompok-kelompok radikal memiliki tujuan untuk memperoleh pengakuan bahwa ideologinya yang paling benar, sampai-sampai kelompok tersebut siap melakukan perlawanan atau bahkan menyatakan perang terhadap status quo demi mengganti ideologi sebuah Negara. Tentu kita belum lupa dengan apa yang terjadi di Aceh, Maluku Selatan dan Papua. Radikalisme yang berujung pada separatisme yaitu keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI sangat menggannggu stabilitas keamanan nasional. Selain itu, harus disayangkan apabila harus ada pertumpahan darah sesama saudara sebangsa dan setanah air hanya karena keinginan dan egoisme untuk membangun suatu tatanan bernegara yang baru berdasarkan ideologinya. Untuk itu perlu dipahami bersama oleh seluruh masyarakat Indonesia bahwa Pancasila sebagai ideologi bangsa patut dijaga, persatuan dan kesatuan demi utuhnya NKRI menjadi harga mati bagi kita semua.
Radikalisme, terrorisme dan separatisme menjadi gangguan yang harus segera diberantas, dan hal ini menjadi bagian dari tanggung jawab penegak hukum. Tak terkecuali bagi Hakim Konstitusi. Mahkamah Konstitusi telah memutus beberapa perkara yang berkaitan dengan terorisme dan penodaan agama., dan dalam putusan tersebut memuat pertimbangan hukum dan pendapat Mahkamah mengenai permasalahan radikalisme dan terorisme di Indonesia. Jika di Indonesia radikalisme sering berkaitan dengan issue SARA terutama agama, maka Mahkamah Konstitusi pernah memberikan pendapat melalui putusannya, antara lain, “...bahwa setiap agama memiliki pokok-pokok ajaran yang diterima umum pada internal agama tersebut, oleh karena itu yang menentukan pokok-pokok ajaran agama adalah pihak internal agama masing-masing. Indonesia sebagai sebuah negara yang menganut paham agama tidak dipisahkan dari negara, memiliki Departemen Agama yang melayani dan melindungi tumbuh dan berkembangnya agama dengan sehat, dan Departemen Agama memiliki organisasi serta perangkat untuk menghimpun berbagai pendapat dari internal suatu agama. Jadi dalam hal ini negara tidak secara otonom menentukan pokokpokok ajaran agama dari suatu agama, akan tetapi hanya berdasarkan kesepakatan dari pihak internal agama yang bersangkutan”.

Sebenarnya permasalahan radikalisme adalah permasalahan ideologi yang penyebarannya sulit dideteksi. Pemahaman ini sangat mudah ditularkan dari satu orang ke orang yang lain. Melalui diskursus yang tidak dikawal dengan baik oleh para ahli menjadi sangat rawan untuk disusupi cara-cara berfikir radikal. Terutama dalam hal pendidikan bagi remaja. Remaja seringkali dijadikan objek/sasaran bagi penyebar radikalisme. Remaja memiliki rasa keingintahuan yang besar, sehingga memiliki minat belajar yang tinggi pula. Oleh karena hal tersebut, perlunya bimbingan yang tepat bagi mereka agar mereka tidak mendapatkan ilmu dari pihak-pihak yang kurang tepat. Maka dari itu bagi mahasiswa khususnya, rasa keingintahuan adik-adik adalah hal positif, namun dalam hal proses pendalaman ilmu tersebut tetap harus meminta pertimbangan dan nasihat dari pengajar-pengajar adik-adik sekalian. Hal yang paling wajib dipahami oleh kita bersama adalah pentingnya dijunjung tenggang rasa dan saling menghargai satusama lain demi terjaganya keutuhan NKRI yang kita cintai ini.