Selasa, 20 Desember 2011

-------------------------------------------------------------------------- asm-------------------------


Tuhan,,, kusandarkan lelahku diatas doa,,, jengah terbaring lunglai diantara gemuruh harapan… Kencang angin berhembus,,, memaksaku segera berlari kearah sana,, gemerlap bintang begitu mengacaukan pandang,, kucari satu, runtut kuuraikan warnanya,,,tapi gulita perlahan tak ada asa…

Tuhan,, izinkan aq menghardik kerdil diri sendiri,, jangankan menjaganya.. belenggu dosa ganas menghunus putihku.. pun bidadari terbang gontai berputar putar..

Kali ini benar cinta, mati aku jika bukan dia..

Selasa, 22 Maret 2011

KONSTITUSI dan HUKUM


Dari sisi istilah dan perkembangan gagasannya, konstitusi (constitution) dapat dipahami meliputi dua konsepsi. Pertama, konsti­tusi sebagai the natural frame of the state yang dapat ditarik ke belakang terkait dengan pengertian politeia da­lam tradisi Yunani Kuno. Kedua, konstitusi dalam arti jus publicum regni, yaitu the public law of the realm. Ci­cero dapat disebut sebagai sarjana pertama yang meng­gunakan perkataan constitutio dalam pengertian kedua ini, seperti tergambar dalam bukunya “De Res Pub­lica” (Berki, 1988:74). Di lingkungan Kerajaan Romawi, per­kataan constitutio dalam bentuk latinnya juga dipakai sebagai istilah teknis untuk menyebut the acts of legislation by the emperor. Menurut Cicero, “This con­s­ti­tution (haec constitution) has a great measure of equa­bi­lity without which men can hardly remain free for any length of time”. Selanjutnya dikatakan oleh Cice­ro “now that opinion of Cato becomes more certain, that the constitution of the republic (consitutionem rei publicae) is the work of no single time or of no single man.”
Dari pendapat Cato tersebut dapat dipahami bahwa konstitusi republik bukanlah hasil ker­ja satu wak­tu ataupun satu orang, melainkan kerja kolektif dan aku­mu­latif. Oleh karena itu, dari sudut etimologi, konsep kla­­sik mengenai konsti­tusi dan konstitusionalisme dapat ditelusuri lebih mendalam dalam perkembangan penger­tian dan penggunaan perkataan politeia dalam bahasa Yunani dan perkataan constitutio dalam bahasa Latin, serta hubungan di antara keduanya satu sama lain di se­panjang sejarah pemikiran maupun pengalaman praktik kehidupan kenegaraan dan hukum.
Perkembangan-perkembangan demikian itu­lah yang pada akhirnya mengantarkan umat ma­nu­sia pada pe­ngertian kata constitution itu dalam bahasa Inggris modern. Dalam Oxford Dictionary, perkataan consti­tution dikaitkan dengan beberapa arti, yaitu: “… the act of establishing or of ordai­ning, or the ordinance or re­gu­lation so establi­shed”. Selain itu, kata constitution juga diartikan sebagai pembuatan atau penyusunan yang me­nentukan hakikat sesuatu (the “make” or com­po­sition which determines the nature of any­thing) yang dalam hal ini adalah entitas suatu negara.
Dalam pengertiannya yang demikian itu, kon­stitusi selalu dianggap “mendahului” dan “menga­tasi” pemerin­ta­han dan segala keputusan serta peraturan lainnya. A Constitution, kata Thomas Paine, “is not the act of a go­vern­ment but of the people constituting a govern­ment”. Kon­stitusi disebut mendahului, bukan karena urutan waktunya, melainkan dalam sifatnya yang supe­rior dan kewenangannya untuk mengikat. Oleh sebab itu, Charles Howard McIlwain (1966:20) menjelaskan: In fact, the traditional notion of constitu­tionalism before the late eighteenth century was of a set of prin­ciples embodied in the institutions of a nation and neither external to these nor in existence prior to them’.
Oleh karena itu, konstitusi dan konstitusionalisme selalu dilihat sebagai seperangkat prinsip-prinsip yang tercermin dalam kelembagaan suatu bangsa dan tidak ada yang mengatasinya dari luar serta tidak ada pula yang mendahuluinya. Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Hal ini­lah yang disebut oleh para ahli sebagai constituent power yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan se­kaligus di atas sistem yang diaturnya (Brian Thomson, 1997:5).
Dalam hubungan dengan pengertian consti­tuent power tersebut di atas, muncul pula penger­tian consti­tuent act. Konstitusi adalah constituent act, bukan produk peraturan legislatif yang biasa (ordinary legislative act). Constituent power mendahului konstitusi, dan konstitusi mendahului organ pe­me­rintahan yang diatur dan dibentuk berdasarkan konstitusi itu. Seperti dikatakan oleh Bryce (1901:151), kon­sti­tusi tertulis merupakan:
The instrument in which a constitution is embodied proceeds from a source different from that whence spring other laws, is regulated in a different way, and exerts a sovereign force. It is enacted not by the ordi­nary legislative authority but by some higher and spe­ci­ally empowered body. When any of its provisions con­flict with the provisions of the ordinary law, it prevails and the ordinary law must give way.

Oleh karena itu, dasar keberadaan dan kedudukan konstitusi adalah kesepa­katan umum atau persetujuan bersama (general consensus) seluruh rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara(William Andrews, 1968: 9). Kata kunci­nya adalah konsensus atau general agreement.
Berdasarkan berbagai dasar yang ada maka penulis tertarik untuk memperdalan hal yang sifatnya dasar akan tetapi menjadi sangat penting untuk pemahaman kedepannya. Karena masyarakat awam juga belum begitu memahami antara hukum dan konstitusi. Oleh karena itu, penulis mengangkat judul ‘Pemahaman Hukum dan Konstitusi ( Pendalaman Perbedaan antara Hukum dan Konstitusi berdasarkan perspektif Keilmuan)’
Tinjauan tentang Teori Konstitusi
Menurut Aristoteles sebagaimana dikutip oleh C.F Strong, konstitusi diklasifikasikan menjadi 2 kelas besar, yaitu konstitusi yang bagus dan konstitusi yang jelek. Masing-masing dari 2 kelas besar tersebut dibagi tipe pemerintah, yaitu pemerintah 1 orang, beberapa orang dan banyak orang. Adapun klasifikasi konstitusi yang baik,dimana dalam bentuk pemerintah oleh 1 orang disebut Monarkhi, dimana dalam bentuk pemerintah oleh beberapa orang disebut aristokrasi, dan dalam bentuk pemerintahan oleh banyak orang disebut polity. Sedangkan dalam klasifikasi konstitusi yang jelek, apabila dalam bentuk pemerintah oleh 1 orang disebut dengan Tyrani atau Despotisme, dalam pemerintahan beberapa orang disebut dengan pemerintahan Oligharki, dan dalam bentuk pemerintahan oleh banyak orang disebut dengan Demokrasi. (Sayuti Una, 2004 : 51)
Pada perkembangannya, konstitusi telah diklasifikasikan sesuai dengan aspek-aspeknya, yaitu dipandang dari aspek bentuknya, dari proses amandemennya, dari tipe pemerintahan negara, dari sistem pemerintahan dan dipandang dari dari sisi bentuk negara. Pertama dipandang dari aspeknya bentuknya, konstitusi diklasifikasikan menjadi yang dikodifikasi dan tidak dikodifikasi atau berbentuk dokumen dan tidak berbentuk dokumen. Menurut Wheare, dipandang dari bentuknya, konstitusi dapat dibagi menjadi konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Kedua dipandang dari proses amandemennya. Konstitusi dapat diklasifikasikan kepada konstitusi flexible dan konstitusi rigid. Jika diketemukan adanya proses amandemen yang mudah, artinya tidak ada persyaratan khusus didalamnya, maka konstitusi itu disebut fleksibel, jika berlaku sebaliknya maka konstitusi itu dikatakan kaku (rigid). Ketiga Klasifikasi konstitusi juga dilihat dari tipe pemerintahan negara, apakah pemerintah itu bersifat kesatuan (unitary) atau pemerintahan negara serikat. Menurut N. Jayapalan, dalam konstitusi negara kesatuan setiap bentuk aktifitas pemerintahan, termasuk pemerintahan lokal, ditetapkan oleh pusat sendiri. Akan tetapi, harus berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sementara terhadap konstitusi pemerintahan negara federal, tidak ada pemisahan wewenang baik oleh pusat maupun negara-negara bagian. Mereka menjalankan tugasnya sebagaimana yang ditentukan oleh konstitusi. Keempat, dipandang dari sistem pemerintahan, klasifikasi konstitusi menjadi konstitusi pemerintahan presidensiil (non-parliamentary of fixed axecutive) atau sistem parlementer (parliamentary executive). Kelima, dipandang dari sisi bentuk negara, konstitusi diklasifikasikan kepada konstitusi Monarkhi dan konstitusi Republik. Klasifikasi ini menurut wheare sangat penting karena status dan kekuasaan presiden dalam konstitusi republik berbeda dengan kekuasaan raja dalam konstitusi monarkhi. Kemudian dari perbedaan tersebut dapat dipahami antara apa yang dianggap sebagai pemerintahan rakyat atau demokratis dan bagaimana pula sistem absolute, otokrasi atau diktator. Dalam sistem Monarkhi, raja hanya bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri, sedangkan dalam sistem republik, presiden bertanggungjawab kepada rakyat.
Konstitusi perlu diperhatikan atau diberikan penilaian, menurut Karl Loewenstein ada tiga jenis penilaian terhadap konstitusi, yaitu:
1)      Nilai Normatif yaitu apabila suatu konstitusi telah resmi diterima oleh suatu bangsa, maka konstitusi itu bukan saja berlaku dalam arti hukum, melainkan merupakan suatu kenyataan dan efektif, artinya konstitusi itu dilaksanakan secara murni dan konsekuen.
2)      Nilai Nominal yaitu suatu konstitusi secara hukum berlaku, namun berlakunya itu tidak sempurna, karena ada pasal –pasal tertentu  yang dalam kenyataannya tidak berlaku, seperti dalam UUD 1945. Dalam Pasal 28 UUD 1945 disebutkan adanya kemerdekaan berserikat dan berkumpul. Akan tetapi dalam prakteknya pelaksanaan pasal itu banyak tergantung kepada kemauan penguasa (pada masa orba). Konstitusi yang demikian bernilai nominal.
3)      Nilai Semantik yaitu konstitusi itu secara hukum tetap berlaku, tetapi dalam pelaksanaannya hanya sekedar untuk melaksanakan kekuasaan politik. Jadi, konstitusi disini hanya sekedar istilah, sedangkan dalam pelaksaannya digantikan dengan kepentingan penguasa. Konstitusi demikian dapat dinilai hanya semantik atau simbolik, contohnya pelaksanaan UUD 1945 pada masa orde lama (Kusnardi, 1983: 72-75).
PEMBAHASAN

Konstitusi merupakan hukum dasar yang harus dijadikan pegangan bersama dalam rangka penyelenggaraan suatu negara. Konstitusi dapat berupa hukum dasar yang tertulis yang lazim disebut UUD, dan dapat pula tidak tertulis. Tidak semua negara memiliki konstitusi tertulis atau UUD. Kerajaan Inggeris biasa disebut sebagai negara konstitusional, tetapi tidak memiliki satu naskah UUD sebagai konstitusi tertulis. Oleh sebab itu, di samping karena adanya negara yang dikenal sebagai negara konstitusional tetapi tidak memiliki konstitusi tertulis, nilai-nilai dan norma-norma yang hidup dalam praktek penyelenggaraan negara juga diakui sebagai hukum dasar, dan tercakup pula dalam pengertian konstitusi dalam arti yang luas. Karena itu, UUD sebagai konstitusi tertulis beserta nilai-nilai dan norma hukum dasar yang tidak tertulis yang hidup sebagai konvensi ketatanegaraan dalam praktek penyelenggaraan negara sehari-hari, termasuk ke dalam pengertian konstitusi atau hukum dasar (droit constitusionnel) suatu negara.    
Dalam penyusunan suatu konstitusi tertulis, nilai-nilai dan norma dasar yang hidup dalam masyarakat dan dalam praktek penyelenggaraan negara turut mempengaruhi perumusan suatu norma ke dalam naskah UUD Dasar. Karena itu, suasana kebatinan (geistichenhentergrund) yang menjadi latar belakang filosofis, sosiologis, politis, dan historis perumusan juridis suatu ketentuan Undang-Undang Dasar perlu dipahami dengan seksama untuk dapat mengerti dengan sebaik-baiknya ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal UUD. UUD tidak dapat dipahami hanya melalui teksnya saja. Untuk sungguh-sungguh mengerti, kita harus memahami konteks filosofis, sosio-historis, sosio-politis, sosio-juridis, dan bahkan sosio-ekonomis yang mempengaruhi perumusannya.  Di samping itu, setiap kurun waktu dalam sejarah, memberikan pula kondisi-kondisi kehidupan yang membentuk dan mempengaruhi kerangka pemikiran (frame of reference) dan medan pengalaman (field of experience) dengan muatan kepentingan yang berbeda, sehingga proses pemahaman terhadap suatu ketentuan UUD dapat terus berkembang dalam praktek di kemudian hari. Karena itu, penafsiran terhadap UUD di masa lalu, masa kini, dan di masa yang akan datang, memerlukan rujukan standar yang dapat dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya, sehingga UUD tidak menjadi alat kekuasaan yang ditentukan secara sepihak oleh pihak manapun juga. Untuk itulah, menyertai penyusunan dan perumusan naskah UUD, diperlukan pula adanya Pokok-Pokok Pemikiran konseptual yang mendasari setiap perumusan pasal-pasal UUD serta keterkaitannya secara langsung atau tidak langsung terhadap semangat proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
UUD 1945 sebagaimana terakhir diubah pada tahun 1999, 2000, 2001 sampai tahun 2002 merupakan satu kesatuan rangkaian perumusan hukum dasar Indonesia di masa depan. Isinya mencakup dasar-dasar normatif yang berfungsi sebagai sarana pengendali (tool of social and political control) terhadap penyimpangan dan penyelewengan dalam dinamika perkembangan zaman dan sekaligus sarana pembaruan masyarakat (tool of social and political reform) serta sarana perekayaan (tool of social and political engineering) ke arah cita-cita kolektif bangsa. Belajar dari kekurangan sistem demokrasi politik di berbagai negara di dunia, yang menjadikan UUD hanya sebagai konstitusi politik, maka UUD ini juga berisi dasar-dasar pikiran mengenai demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial. Karena itu, UUD ini dapat disebut sebagai konstitusi politik, konstitusi ekonomi dan sekaligus konstitusi sosial yang mencerminkan cita-cita kolektif bangsa, baik di bidang politik dan ekonomi maupun sosial-budaya, dengan tetap memelihara tingkat abstraksi perumusannya sebagai hukum dasar (rechtsidee).            
Sebagai hukum dasar, perumusan isinya disusun secara sistematis mulai dari prinsip-prinsip yang bersifat umum dan mendasar, dilanjutkan dengan perumusan prinsip-prinsip kekuasaan dalam setiap cabangnya yang disusun secara berurutan. Pasal-pasal dan ayatnya dirumuskan dalam tingkat abstraksi yang sesuai dengan hakikatnya sebagai hukum dasar, dengan kesadaran bahwa pengaturan yang bersifat rinci akan ditentukan lebih lanjut dalam UU. Makin elastis suatu aturan, makin terbuka kemungkinannya untuk menampung dinamika perkembangan zaman, sehingga UUD tidak lekas ketinggalan zaman (verounderd). Namun demikian, meskipun perumusan UUD ini bersifat garis besar, haruslah disadari jangan sampai ketentuan yang diaturnya bermakna ganda atau dapat ditafsirkan secara sewenang-wenang oleh pihak yang berkuasa.               
Oleh karena itu, yang terpenting adalah semangat dan kemauan politik (political will) para penyelenggara negara. Meskipun dirumuskan dengan jelas bahwa Undang-Undang Dasar menganut asas kedaulatan rakyat atau demokrasi, jika para penyelenggara negara tidak berjiwa demokrasi dan tidak mempunyai tekad dan komitmen untuk mewujudkan demokrasi itu dalam kenyataan atau hanya menjadikan demokrasi hanya sebagai retorika semata, maka pasal yang jelas menentukan adanya demokrasi itu tidak akan terwujud dalam praktek. Sebaliknya, meskipun perumusan UUD tidak sempurna, tetapi semangat para penyelenggara negara bersih dan tulus dalam menjalankan konstitusi, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, maka kekurangan dalam perumusan pasal UUD tidak akan merintangi jalannya penyelenggaraan negara dengan sebaik-baiknya menuju terwujudnya cita-cita bangsa berdasarkan kelima sila Pancasila yang dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Hukum yang menjadi acuan dalam hal ini menjadi lebih mudah dipahami oleh masyarakat apabila konstitusi dapat dibuat dan dijalankan dengan baik. Perkembangan kesadaran berkonstitusi pun otomatis dapat terbentuk dan hakekat hukum akhirnya bisa ditegakkan.
Berdasarkan sifatnya sebagai hukum negara tertinggi, yang berisi aturan pokok atau dasar, undang-undang dasar seharusnya diberikan sifat utuk tidak diganti-ganti dengan undang-undang dasar lain, apabila dengan hakekatnya akan merupakan pergantian negara. Tentu saja undang-undang dasar tidak boleh ketinggalan dengan perkembangan zaman. Dengan tidak mengurangi sifatnya yang kekal, undang-undang dasar dapat saja mengalami perubahan, tambahan dan penyempurnaan demi menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Perubahan dan penyempurnaan itu tidak dilakukan dengan semena-mena, tetapi lazim dilakukan dengan cara istimewa, yaitu dengan cara yang berat kalau dibandingkan dengan cara mengubah peraturan-peraturan yang lain. Dalam teori konstitusi dikenal sifat dari undang-undang dasar, yaitu luwes atau kaku, tertulis dan tidak tertulis (Syahrial, 2002: 100).
KESIMPULAN
Berdasarkan dari uraian diatas dan rumusan masalah yang ada, maka penulis menyimpulkan bahwa Hukum dan teori konstitusi memiliki saling keterkaitan yang erat. Konstitusi merupakan sarana dari penegakan hukum.
Di Indonesia sendiri dalam penjelasan UUD 1945 menyatakan bahwa UUD suatu negara ialah hanya sebagian dari hukum dasar negara itu. UUD ialah hukum dasar yang tertulis, sedangkan disampingnya UUD itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan yang timbul dan terprlihara dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis.
Sebagaimana dijelaskan diatas terkandung pengertian hukum dasar yang meliputi dua macam, yaitu hukum dasar tertulis (undang-undang dasar) dan hukum dasar tidak tertulis (konvensi). Oleh karena sifatnya tertulis, maka undang-undang dasar itu rumusannya tertulis dan tidak mudah berubah.
Jika pengertian undang-undang dasar dihubungkan dengan pengertian konstitusi, maka arti undang-undang dasar itu baru merupakan sebagian dari pengertian konstitusi, yaitu konstitusi yang tertulis. Kesalahan paham modern terletak pada penyamaan arti konstitusi dengan undang-undang dasar, sedangkan konstitusi itu sebenarnya tidak hanya bersifat yuridis semata-mata, tetapi juga sosiologi dan politis.
Pengertian hukum dasar  itu sendiri memiliki pemaknaan yang berbeda. Hukum (recht) itu bisa tertulis atau tidak tertulis. Jadi segala hukum yang tertulis maupun tidak tertulis dapat disalin dengan perkataan hukum.
SARAN
Dari penjabaran diatas, maka penulis berusaha memberikan pemikiran sebagai solusi atau jalan keluar dari permasalahan yang ada. Dalam masalah hukum dan teori konstitusi di Indonesia khususnya, penulis memiliki beberapa saran, yaitu:
1.      Pentingnya pengetahuan di masyarakat tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan hukum, konstitusi, undang-undang dasar dan teori konstitusi.
2.      Sinkronisasi antara hukum dan teori konstitusi akan berjalan beriringan apabila pemerintah sebagai pembuat regulasi dapat memfasilitasi apa yang masyarakat inginkan.
3.      Munculnya kesadaran berkonstitusi dalam tiap-tiap individu warga negara agar tercipta suasana yang tertib hukum.
4.      Sosialisasi konstitusi atau perundang-undangan jaga perlu dilakukan secara sempurna dan menyentuh seluruh lapisan masyarakat.



POLITIK HUKUM LINGKUNGAN DI INDONESIA (Analisa produk hukum lingkungan di Indonesia dikaitkan dengan perspektif politik hukum)

A. PENDAHULUAN
Personal lingkungan merupakan salah satu persoalan dunia yang mengemuka pada seperempat abad terakhir, termasuk di Indonesia sehingga isu lingkungan sangat menarik untuk didiskusikan. Ada berbagai variabel yang mempengaruhi lingkungan mulai dari politik, ekonomi, sosial, hukum, budaya bahkan agama, sehingga pengelolaannya harus dipandang sebagai masalah yang inter disipliner.
Pengelolaan lingkungan hidup yang diartikan sebagai adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang mencakup kebijaksanaan penataan , pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup (Pasal 1 angka 2 Undang-undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup). Amanat pasal tersebut memiliki makna terdapat korelasi antara Negara, wujud perbuatan hukumnya berupa kebijakan (policy making) serta sistem tata kelola lingkungan yang bertanggung jawab.
Dalam banyak kasus di bidang lingkungan yang mencuat mengindikasikan bagaimana sesungguhnya terjadi perbedaan hitam-putih antara apa yang dituangkan dalam regulasi sebagai perwujudan akan kepedulian Negara, rakyat yang dimanifestasikan dalam kelembagaan perwakilan (DPR/ DPRD) serta lembaga yudisial sebagai garda terakhir dalam penegakan hukum (law enforcement). Muara dari kegagalan pemerintah dan lembaga peradilan dalam menangani persoalan lingkungan membawa akibat pada resistensi korban lingkungan misalnya: aksi demo dengan blokade jalan, merusak fasilitas industri baik atas dasar investasi domestik maupun asing, pembangkangan yang kesemuanya menggambarkan senjata terakhir dari kaum yang kalah (weapons of the weak).
Sebagai salah satu contoh kasus bencana lumpur panas di Porong kabupaten Sidorjo yang terjadi pada 29 Mei 2006 semula merupakan kasus pada skala regional pada akhirnya mengemuka sebagai kasus skala nasional dan menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mengatasinya. Bencana yang mencapai luas 65 ribu hektar belum termasuk 42.800 ha di Pejarakan, Besuki dan Kedung Cangkring, 10.426 unit bangunan, 65 masjid & mushala, 33 sekolah, 31 pabrik, 4 kantor (Kompas 12 Mei 2007). Persoalan ganti rugi yang sesungguhnya menjadi kewajiban pihak perusahaan (PT Minarak Lapindo Jaya) hanya sanggup membayar 42 bidang dari 662 di Jatirejo. Pemerintah telah mencoba melakukan upaya dengan pembentukan Tim Nasional yang kemudian diganti Badan Penanggulangan Lumpur dengan saluran pengelak, bola beton, serta rencana counter weight belum menunjukkan hasil yang signifikan. Berdasarkan fakta kasus tersebut, maka beberapa persoalan mendasar yang dapat penulis jabarkan mencakup persoalan orientasi dasar lingkungan berbasis negara (pemerintah) atau state based environmental management tercantum pada Pasal 8 – 13 UU No.23 Tahun 1997 memiliki kelemahan mendasar. Kelemahan tersebut adalah perspektif sektoral(sectoral perspective) dan partisipasi publik (baca masyarakat) yang semu (Pasal 5 Ayat (3) dan 7 Ayat (1) dan (2). Dikatakan semu, karena sifatnya hanya proforma (tokenism) belaka, tak ada kemampuan public untuk melakukan kontrol yang efektif atas bagaimana pengelolaan lingkungan dilakukan oleh pemerintah yang menurut Koesnadi Hardjasoemantri (2006) seharusnya mewujudkan Good Environmental Government (GEG) (Koesnadi Hardjasoemantri, 2006: 70-78).
Kuatnya pengaruh variabel politik dan ekonomi serta tradisi hukum tertulis (positive law tradition) terhadap kebijakan pengelolaan lingkungan membawa dampak negatif terhadap politik hukum dan substansi regulasi pengelolaan lingkungan (state based environmental management). Konsep ini pada gilirannya akan menciptakan wujud kebijakan, pengaturan maupun penegakan hukum yang mengesampingkan etika & moral, kearifan lokal (indigenous knowledge) serta kritik maupun keluhan korban lingkungan.
Sekalipun isu global baik ”caring for the earth: a strategy for sustainable living” tahun 1980 yang disusun oleh IUCN, UNEP dan WWF yang diterjemahkan menjadi pembangunan berkelanjutan (Koesnadi Hardjasoemantri, 2006: 117-118) maupun konsep United Nation Development Program 2006-2010 pada 2005 yang dinamakan ”Millenium Development Goals (MDG’s)” yang dilatari peristiwa krisis multi dimensional dan transformasi politik, belum menyentuh seluruh pemangku kepentingan (stake holders) khususnya akar rumput (grassroot/ rakyat). Artinya wacana global masih sebatas pada elit pemerintah, teknokrat maupun kalangan intektual akademis. Pada akhirnya forum seminar, lokakarya, diskusi publik masih sebatas menggaungkan isu tersebut sebagai wacana belaka. Tak pelak, kesenjangan konsep dan cara pandang antara pemerintah dan warga negara mengenai isu lingkungan sangat mencederai rasa keadilan rakyat.
Oleh karena itu, dalam upaya pengelolaan dan perlindungan lingkungan di Indonesia sepantasnya tidak ditunggangi dan diisi oleh kepentingan politik dari pihak-pihak tertenu, selain itu juga aspek legal atau hukum pun tidak bersifat lunak, regulasi UU No. 23 Tahun 1997 sebagai acuan juga harus benar-benar dijadikan sebagai pedoman.



  1. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan dari alasan dan penjabaran permasalahan di atas, maka penulis akan mengerucutkan pembahasan permasalahan tersebut ke dalam hal-hal berikut yang akan menjadi rumusan masalah, yaitu:
1.                   Bagaimanakah jalannya politik hukum dalam pengelolaan lingkungan di Indonesia?
C.     PEMBAHASAN
1.     Kajian Pustaka
a. Tinjauan Tentang Politik Hukum
Dibawah ini ada beberapa definisi yang akan disampaikan oleh beberapa ahli :
  1. Satjipto Rahardjo
Politik Hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara – cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat.
  1. Padmo Wahjono disetir oleh Kotam Y. Stefanus
Politik Hukum adalah kebijaksanaan penyelenggara Negara tentang apa yang dijadikan criteria untuk menghukumkan sesuatu ( menjadikan sesuatu sebagai Hukum ). Kebijaksanaan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum
      dan penerapannya.
  1. L. J. Van Apeldorn
Politik hukum sebagai politik perundang – undangan .
Politik Hukum berarti menetapkan tujuan dan  isi peraturan perundang – undangan . ( pengertian politik hukum terbatas hanya pada hukum tertulis saja.
  1. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto
Politik Hukum sebagai kegiatan – kegiatan memilih nilai- nilai dan menerapkan nilai – nilai.
  1. Moh. Mahfud MD.
Politik Hukum ( dikaitkan di Indonesia ) adalah sebagai berikut :
a)      Bahwa definisi atau pengertian hukum juga bervariasi namun dengan meyakini adanya persamaan substansif antara berbagai pengertian yang ada atau tidak sesuai dengan kebutuhan penciptaan hukum yang diperlukan.
b)      Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada , termasuk penegasan Bellefroid dalam bukunya Inleinding Tot de Fechts Weten Schap in Nederland
Mengutarakan posisi politik hukum dalam pohon ilmu hukum sebagai ilmu. Politik hukum merupakan salah satu  cabang atau bagian dari ilmu hukum, menurutnya ilmu hukum terbagi atas :
  1. Dogmatika Hukum
  2. Sejarah Hukum
  3. Perbandingan Hukum
  4. Politik Hukum
  5. IlmU Hukum Umum
Sedangkan keseluruhan hal diatas diterjemahkan oleh Soeharjo sebagai berikut :
  1. Dogmatika Hukum
Memberikan penjelasan mengenai isi  ( in houd ) hukum , makna ketentuan – ketentuan hukum , dan menyusunnya sesuai dengan asas – asas dalam suatu sistem hukum.
  1. Sejarah Hukum
Mempelajari susunan hukum yang lama yang mempunyai pengaruh dan peranan terhadap pembentukan hukum sekarang. Sejarah Hukum mempunyai arti penting apabila kita ingin memperoleh pemahaman yang baik tentang hukum yang berlaku sekarang .
  1. Ilmu Perbandingan Hukum
Mengadkan perbandingan hukum yang berlaku diberbagai negara , meneliti kesamaan, dan perbedaanya.
  1. Politik Hukum
Politik Hukum bertugas untuk meneliti perubahan – perubahan mana yang perlu diadakan terhadap hukum yang ada agar memenuhi kebutuhan – kebutuhan baru didalam kehidupan masyarakat.
  1. Ilmu Hukum Umum
Tidak mempelajari suatu tertib hukum tertentu , tetapi melihat hukum itu sebagai suatu hal sendiri, lepas dari kekhususan yang berkaitan dengan waktu dan tempat. Ilmu Hukum umum berusaha untuk menentukan dasar- dasar pengertian  perihal hukum , kewajiban hukum , person atau orang yang mampu bertindak dalam hukum, objek hukum dan hubungan hukum. Tanpa pengertian dasar ini tidak mungkin ada hukum dan ilmu hukum.
   
Berdasarkan atas posisi ilmu politik hukum dalam dunia ilmu pengetahuan seperti yang telah diuraikan , maka objek ilmu politik hukum adalah “ HUKUM “.
Hukum yang berlaku sekarang , yang berlaku diwaktu yang lalu, maupun yang seharusnya berlaku diwaktu yang akan datang.

b. Tinjauan Umum Tentang Pengelolaan Lingkungan
Sisi lemah dalam pelaksanaan peraturan perundangan lingkungan hidup yang menonjol adalah penegakan hukum, oleh sebab itu dalam bagian ini akan dikemukakan hal yang terkait dengan penegakan hukum lingkungan. Dengan pesatnya pembangunan nasional yang dilaksanakan yang tujuannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ada beberapa sisi lemah, yang menonjol antara lain adalah tidak diimbangi ketaatan aturan oleh pelaku pembangunan atau sering mengabaikan landasan aturan yang mestinya sebagai pegangan untuk dipedomani dalam melaksanakan dan mengelola usaha dan atau kegiatannya, khususnya menyangkut bidang sosial dan lingkungan hidup, sehingga menimbulkan permasalahan lingkungan. Oleh karena itu, sesuai dengan rencana Tindak Pembangunan Berkelanjutan dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dilakukan meningkatkan kualitas lingkungan melalui upaya pengembangan sistem hukum, instrumen hukum, penaatan dan penegakan hukum termasuk instrumen alternatif, serta upaya rehabilitasi lingkungan. Kebijakan daerah dalam mengatasi permasalahan lingkungan hidup khususnya permasalahan kebijakan dan penegakan hukum yang merupakan salah satu permasalahan lingkungan hidup di daerah dapat meliputi
_ Regulasi Perda tentang Lingkungan.
_ Penguatan Kelembagaan Lingkungan Hidup.
_ Penerapan dokumen pengelolaan lingkungan hidup dalam proses perijinan
_ Sosialisasi/pendidikan tentang peraturan perundangan dan pengetahuan lingkungan
hidup.
_ Meningkatkan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi terkait dan stakeholders
_ Pengawasan terpadu tentang penegakan hukum lingkungan.
_ Memformulasikan bentuk dan macam sanksi pelanggaran lingkungan hidup.
_ Peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia.
_ Peningkatan pendanaan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup, sedangkan yang dimaksud lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Kondisi lingkungan hidup dari waktu ke waktu ada kecenderungan terjadi penurunan kualitasnya, penyebab utamanya yaitu karena pada tingkat pengambilan keputusan, kepentingan pelestarian sering diabaikan sehingga menimbulkan adanya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Dengan terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan ternyata juga menimbulkan konflik sosial maupun konflik lingkungan.
Dengan berbagai permasalahan tersebut diperlukan perangkat hukum perlindungan terhadap lingkungan hidup, secara umum telah diatur dengan Undang-undang No.4 Tahun 1982.
Namun berdasarkan pengalaman dalam pelaksanaan berbagai ketentuan tentang penegakan hukum sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Lingkungan Hidup, maka dalam Undangundang Pengelolaan Lingkungan Hidup diadakan berbagai perubahan untuk memudahkan penerapan ketentuan yang berkaitan dengan penegakan hukum lingkungan yaitu Undang-undang No 4 Tahun 1982 diganti dengan Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan kemudian diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaanya. Undangundang ini merupakan salah satu alat yang kuat dalam melindungi lingkungan hidup. Dalam penerapannya ditunjang dengan peraturan perundang-undangan sektoral. Hal ini mengingat Pengelolaan Lingkungan hidup memerlukan koordinasi dan keterpaduan secara sektoral dilakukan oleh departemen dan lembaga pemerintah non –departemen sesuai dengan bidang tugas dan tanggungjawab masing-masing, seperti Undang-undang No. 22 Th 2001 tentang Gas dan Bumi, UU No. 41 Th 1999 tentang Kehutanan, UU No. 24 Th 1992 tentang Penataan Ruang dan diikuti pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah maupun Keputusan Gubernur.

2.        PEMBAHASAN MASALAH
LJ. van Appeldoorn dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum menyebut dengan istilah politik perundang-undangan.[1] Pengertian yang demikian dapat dimengerti mengingat bahwa di Belanda hukum dianggap identik dengan undang-undang; hukum kebiasaan tidak tertulis diakui juga akan tetapi hanya apabila diakui oleh Undang-undang.[2] Politik hukum juga dikonsepsi sebagai kebijaksanaan negara untuk menerapkan hukum.[3]

Teuku Muhammad Radhie mengkonsepsi politik hukum sebagai pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayah suatu Negara dan mengenai arah kemana hukum hendak dikembangkan.[4] Konsepsi lain tentang politik hukum dikemukakan oleh Abdul Hakim Garuda Nusantara yang menyatakan bahwa politik hukum sama dengan politik pembangunan hukum.[5] Pendapat Abdul Hakim Garuda Nusantara berikutnya diikuti oleh Moh. Mahfud MD yang menyebutkan bahwa politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia. Legal policy ini terdiri dari: pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan.

Pengertian lain tentang politik hukum yang aplikatif juga disampaikan oleh Hikmahanto. Menurutnya, peraturan perundang-undangan (legislation) merupakan bagian dari hukum yang dibuat secara sengaja oleh institusi negara. Oleh karena itu pembuatan dari peraturan perundang-undangan tersebut memiliki tujuan dan alasan tertentu yang dapat beraneka ragam. Berbagai tujuan dan alasan yang menjadi dasar dibentuknya peraturan perundang-undangan ini disebut dengan politik hukum.[6]

Mengenai politik hukum ini ada banyak sekali pendapat berkaitan dengan definisinya. Dipandang dari segi teori hukum murni (pure yuridis theoritis) politik huum adalah satu disiplin ilmu yang membahas perbuatan aparat yang berwenang dengan memilih beberapa alternatif yang tersedia untuk memproduksi suatu produk hukum guna mewujudkan tujuan Negara.
Pengertian ini kemudian diuraikan[7] sebagai berikut;
Politik hukum mengandung 4 faktor/ elemen:
1.                  harus ada aparat yang berwenang (kompetensi)
2.                  harus ada alternative yang tersedia
3.                  harus ada produk hokum yang dilahirkan
4.                  harus ada tujuan Negara sebagai terminal atau tujuan akhir.
Berdasarkan pelbagai pengertian tentang politik hukum di atas, maka dapat disimpulkan bahwa politik hukum merupakan sarana penguasa dalam mencapai tujuan Negara. Apakah untuk menjaga ketertiban, keamanan, pembangunan perekonomian, atau juga untuk menciptakan suasana pemerintahan yang kondusif dalam mewujudkan pemerintah yang bersih.
Dalam pelaksanaan pembangunan di era Otonomi Daerah, pengelolaan lingkungan hidup tetap mengacu pada Undang-undang No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan juga Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-undang No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Dalam melaksanakan kewenangannya diatur dengan Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Dalam pengelolaan lingkungan hidup Pemerintah Propinsi mempunyai 6 kewenangan terutama menangani lintas Kabupaten/Kota, sehingga titik berat penanganan pengelolaan lingkungan hidup ada di Kabupaten/ Kota. Dalam surat edaran Menteri Dalam Negeri No 045/560 tanggal 24 Mei 2002 tentang pengakuan Kewenangan/Positif List terdapat 79 Kewenangan dalam bidang lingkungan hidup.
Sejalan dengan lajunya pembangunan nasional yang dilaksanakan permasalahan lingkungan hidup yang saat ini sering dihadapi adalah kerusakan lingkungan di sekitar areal pertambangan yang berpotensi merusak bentang alam dan adanya tumpang tindih penggunaan lahan untuk pertambangan di hutan lindung. Kasus-kasus pencemaran lingkungan juga cenderung meningkat. Kemajuan transportasi dan industrialisasi yang tidak diiringi dengan penerapan teknologi bersih memberikan dampak negatif terutama pada lingkungan perkotaan. Sungai-sungai di perkotaan tercemar oleh limbah industri dan rumah tangga. Kondisi tanah semakin tercemar oleh bahan kimia baik dari sampah padat, pupuk maupun pestisida. Masalah pencemaran ini disebabkan masih rendahnya kesadaran para pelaku dunia usaha ataupun kesadaran masyarakat untuk hidup bersih dan sehat dengan kualitas lingkungan yang baik. Dengan kata lain permasalahan lingkungan tidak semakin ringan namun justru akan semakin berat, apalagi mengingat sumberdaya alam dimanfaatkan untuk melaksanakan pembangunan yang bertujuan memenuhi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan kondisi tersebut maka pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan ditingkatkan kualitasnya dengan dukungan penegakan hukum lingkungan yang adil dan tegas, sumberdaya manusia yang berkualitas, perluasan penerapan etika lingkungan serta asimilasi sosial budaya yang semakin mantap. Perlu segera didorong terjadinya perubahan cara pandang terhadap lingkungan hidup yang berwawasan etika lingkungan melalui internalisasi kedalam kegiatan/proses produksi dan konsumsi, dan menanamkan nilai dan etika lingkungan dalam kehidupan sehari-hari termasuk proses pembelajaran sosial serta pendidikan formal pada semua tingkatan.
Dalam upaya ini, hukum lingkungan menjadi acuan yang harus dijalankan dengan baik, UU No.23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan harus bisa berperan sebagaii regulasi yang efektif baik secara normatif maupun empiris. Sebisa mungkin pula dalam upaya penegakkan hukum lingkungan, pemerintah dan aparat dapat berlaku adil. Jangan kepentingan politik yang malah kemudian didahulukan. Jangan pula adanya permainan politik dalam menjalankan aturan-aturan hukum yang ada.
  1. KESIMPULAN
Sisi lemah dalam pelaksanaan peraturan perundangan lingkungan hidup yang menonjol adalah penegakan hukum, oleh sebab itu dalam bagian ini akan dikemukakan hal yang terkait dengan penegakan hukum lingkungan. Dengan pesatnya pembangunan nasional yang dilaksanakan yang tujuannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ada beberapa sisi lemah, yang menonjol antara lain adalah tidak diimbangi ketaatan aturan oleh pelaku pembangunan atau sering mengabaikan landasan aturan yang mestinya sebagai pegangan untuk dipedomani dalam melaksanakan dan mengelola usaha dan atau kegiatannya, khususnya menyangkut bidang sosial dan lingkungan hidup, sehingga menimbulkan permasalahan lingkungan. Oleh karena itu, sesuai dengan rencana Tindak Pembangunan Berkelanjutan dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dilakukan meningkatkan kualitas lingkungan melalui upaya pengembangan sistem hukum, instrumen hukum, penaatan dan penegakan hukum termasuk nstrumen alternatif, serta upaya rehabilitasi lingkungan. Kebijakan daerah dalam mengatasi permasalahan lingkungan hidup khususnya permasalahan kebijakan dan penegakan hukum yang merupakan salah satu permasalahan lingkungan hidup di daerah.
Undangundang ini merupakan salah satu alat yang kuat dalam melindungi lingkungan hidup.Dalam penerapannya ditunjang dengan peraturan perundang-undangan sektoral. Hal ini mengingat Pengelolaan Lingkungan hidup memerlukan koordinasi dan keterpaduan secara sektoral dilakukan oleh departemen dan lembaga pemerintah non –departemen sesuai dengan bidang tugas dan tanggungjawab masing-masing, seperti Undang-undang No. 22 Th 2001 tentang Gas dan Bumi, UU No. 41 Th 1999 tentang Kehutanan, UU No. 24Th 1992 tentang Penataan Ruang dan diikuti pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah maupun Keputusan Gubernur
  1. SARAN
Peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup sudah cukup memadai, namun demikian didalam pelaksanaanya, termasuk dalam pengawasan pelaksanaannya perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Hal ini sangat terkait dengan niat baik pemerintah termasuk pemerintah daerah, masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengelola lingkungan hidup dengan sebaik baiknya agar prinsip pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan dapat terselenggara dengan baik. Oleh karena pembangunan pada dasarnya untuk kesejahteraan masyarakat, maka aspirasi dari masyarakat perlu didengar dan program-program kegiatan pembangunan betul-betul yang menyentuh kepentingan masyarakat, karena kepentingan masyarakat sebenarnya jauh diatas kepentingan politik atau kekuasaan.


DAFTAR PUSTAKA

A.S.S. Tambunan, Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, (Jakarta: Puporis Publishers, 2002).
Baiquni, M dan Susilawardani, 2002. Pembangunan yang tidak Berkelanjutan, Refleksi Kritis Pembangunan Indonesia. Transmedia Global Wacana, Yogyakarta.
David Kairsy (ed). The Politics of Law, A Progressive Critique, (New York: Pantheon Books, 1990).
Hikmahanto Juwono, “Politik Hukum Undang-undang Bidang ekonomi di Indonesia”.
Hand Out kuliah Kebijakan Pembangunan Hukum Program Doktor (S3) UII.
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1997. Agenda 21 Indonesia, Strategi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta.
LJ. van Appeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan Supomo), (Jakarta: Pradnya
Paramitha), cet. Ke-18, 1981, hlm. 390.
Marfai, M.A. 2005. Moralitas Lingkungan, Wahana Hijau, Yogyakarta
Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2002. Rencana Strategis PengelolaanLingkungan Hidup Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemda Propinsi DI Yogyakarta.
Slaymaker, O and Spencer, T., 1998. Physical Geography and Global Environmental Change. Addison Wesley Longman Limited, Edinburh Gate, Harlow.
Miller. G.T. Jr. 1995. Environmental Science Sustaining the Earth. Wadsworth Publishing Co.Belmont.
Muchsan, “Politik Hukum” Materi Perkuliahan pada Magister Hukum UGM, (Yogyakarta. 2009)
Sumarwoto, O (ed). 2003. Menuju Jogya Propinsi Ramah Lingkungan Hidup, Agenda 21 Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Teuku Muhammad Radhie dalam majalah PRISMA, no. 6 tahun keI-II, Desember 1973


[1] LJ. van Appeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan Supomo), (Jakarta: Pradnya
Paramitha), cet. Ke-18, 1981, hlm. 390.
[2] A.S.S. Tambunan, Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, (Jakarta: Puporis Publishers, 2002),
hlm. 9.
[3] David Kairsy (ed). The Politics of Law, A Progressive Critique, (New York: Pantheon Books,
1990), hlm. xi.
[4] Teuku Muhammad Radhie dalam majalah PRISMA, no. 6 tahun keI-II, Desember 1973,
hlm. 4.
[5] A.S.S. Tambunan, Ibid. Lihat referensi aslinya Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik
Hukum Indonesia, (Jakarta: YLBHI, 1988).
[6] Hikmahanto Juwono, “Politik Hukum Undang-undang Bidang ekonomi di Indonesia”.
Hand Out kuliah Kebijakan Pembangunan Hukum Program Doktor (S3) UII.
[7] Muchsan, “Politik Hukum” Materi Perkuliahan pada Magister Hukum UGM, (Yogyakarta. 2009)

Selasa, 01 Maret 2011

calon perseorangan dalam pilkada

Kelemahan Sistem perpolitikan dengan adanya Partai Politik
Di sisi lain, pada  prinsipnya dalam sistem perpolitikan di Indonesia, partai politik merupakan salah satu unsur infra struktur pembentuknya, adapun yang yang termasuk dalam infra struktur politik ialah segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang dalam aktivitasnya dapat mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak, kepada lembaga-lembaga kenegaraan dalam menjalankan fungsi serta kekuasaannya masing-masing. Infra struktur tersebut terdiri atas 5 (lima) komponen atau unsur, yaitu:
1.      Partai politik
2.      Golongan kepentingan
3.      Golongan penekan
4.      Alat komunikasi politik
5.      Tokoh politik[1]
Perubahan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan solusi yang paling tepat. Perubahan harus secara tegas dan eksplisit mencantumkan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh rakyat merupakan bagian dari pemilihan umum lokal[2].
Dari pemikiran diatas, menurut penulis ada pertimbangan yang menjadi tolak ukur mengapa calon perseorangan diberi kesempatan untuk mengikuti Pilkada langsung di daerah-daerah. Hal ini dapat dipelajari melalui gejala sosial yang terjadi sesuai dengan konsep hukum progresif, sehingga pada akhirnya dapat disimpulkan apakah proses penetapan peraturan mengenai calon perseorangan sudah demokratis ataukah belum.
Pertimbangan yang dimaksud dalam penulisan ini adalah sisi negatif dari sistem Pilkada langsung yang pada awalnya hanya dikuasai oleh partai politik. Dominasi ini memiliki kekurangan yang mendorong ide di masyarakat untuk memunculkan calon perseorangan non partai politik sebagai perwujudan demokrasi yang sesungguhnya.
Adapun sisi negatif yang pertama, Pilkada dalam era liberalisasi politik dengan kekuatan partai politik yang masih dominan, memungkinkan sekali yang bisa bertempur di sana adalah mereka yang memiliki kapital ekonomi dan politik yang kuat. Para pengusaha yang sekaligus dekat dengan partai politik, atau para incumbent yang kaya, adalah yang paling besar mendapatkan peluang masuk dalam bursa pencalonan Pilkada. Jadi bukan figur-figur yang kompeten dalam kacamata kepemimpinan modern yang bisa masuk di sana, tetappi justru mereka yang berkategori orang-orang kaya yang berpeluang besar ikut masuk dalam bursa Pilkada. Sementara orang-orang kaya itu, dulu adalah yang justru selalu menjadi bagian dari objek kebijakan pemerintah. Artinya, mereka yang selalu diatur, yang didisiplinkan dan ditata dalam menjalankan kegiatan bisnisnya. Tetapi sekarang, mereka adalah yang akan tampil sebagai pengatur. Sisi inilah yang merupakan salah satu aspek kelemahan yang menonjol.
Kapitalisme politik, dalam kerangka menyempurnakan kapitalisme ekonomi, kemungkinan akan menemui momentumnya, dan di kemudian hari tidak mustahil akan menjadi problem baru. Hal ini senada dengan teori ‘MPM’ atau Money-Power-More Money. Teori ini mengingatkan akan arti pentingnya pengaruh kapital dalam proyek demokrasi yang ujung-ujungnya kelas menengah yang diuntungkan. Di titik itulah kewaspadaan publik tetap harus terjaga, agar Pilkada yang agak berbau kapitalistik ini tidak menimbulkan ekses melunturnya interest kepala daerah ke publik.
Kedua, Pilkada langsung memang bisa melahirkan problem kelembagaan baru yang disuatu titik nanti bisa menodai demokrasi lokal. Itu terjadi karena kepala daerah yang dihasilkan dari sistem Pilkada langsung posisinya akan semakin kuat, begitu pula dalam hal legitimasinya[3].
Dari analisa hukum progresif, kesemua penjabaran diatas sudah menjawab bahwa munculnya calon perseorangan dalam pilkada sudah cukup demokratis, karena perkembangan hukum baik secara normatif maupun sosiologis benar-benar menuntun lahirnya ide tersebut. Karena dalam kaidah hukum progresif itu sendiri memang menitik beratkan kepada proses berkembangnya hukum, sehingga produk yang dihasilkannya merupakan hasil kolaborasi dari berbagai macam konsep dan unsur. Walaupun akhirnya kadangkala muncul persepsi melemahnya kekuatan hukum itu sendiri. Istilah “Laws can influence, but never determine, such processes[4], nampaknya juga membuktikan bahwa perkembangan hukum progresif secara tidak langsung juga tumbuh berkembang di negara lain. Dengan demikian, calon perseorangan di pilkada langsung menunjukan eksistensi demokrasi deliberatif yang seiring harmonis dengan hukum progresif di Indonesia.


[1] Sri Soemantri, Sistem-sistem Pemerintahan Negara-negara Asean, Bandung:Tarsito,1976, hlm.4
[2] Ibnu Tricahyo, Menuju Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal, Malang: In-Trans Publishing,2009,  hlm.148
[3] Amirudin dan  A. Zaini Bistri, Pilkada Langsung (Problem dan Prospek), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hlm 29-31.
[4] Dieter Grimm, Integration by constitution, Int J Constitutional Law (May 2005) 3 (2-3): 193-208. doi: 10.1093/icon/moi014, http://icon.oxfordjournals.org/content/3/2-3/193.full.pdf+html,, Senin, 3 Januari 2011, 20:20 wib.