Selasa, 22 Maret 2011

KONSTITUSI dan HUKUM


Dari sisi istilah dan perkembangan gagasannya, konstitusi (constitution) dapat dipahami meliputi dua konsepsi. Pertama, konsti­tusi sebagai the natural frame of the state yang dapat ditarik ke belakang terkait dengan pengertian politeia da­lam tradisi Yunani Kuno. Kedua, konstitusi dalam arti jus publicum regni, yaitu the public law of the realm. Ci­cero dapat disebut sebagai sarjana pertama yang meng­gunakan perkataan constitutio dalam pengertian kedua ini, seperti tergambar dalam bukunya “De Res Pub­lica” (Berki, 1988:74). Di lingkungan Kerajaan Romawi, per­kataan constitutio dalam bentuk latinnya juga dipakai sebagai istilah teknis untuk menyebut the acts of legislation by the emperor. Menurut Cicero, “This con­s­ti­tution (haec constitution) has a great measure of equa­bi­lity without which men can hardly remain free for any length of time”. Selanjutnya dikatakan oleh Cice­ro “now that opinion of Cato becomes more certain, that the constitution of the republic (consitutionem rei publicae) is the work of no single time or of no single man.”
Dari pendapat Cato tersebut dapat dipahami bahwa konstitusi republik bukanlah hasil ker­ja satu wak­tu ataupun satu orang, melainkan kerja kolektif dan aku­mu­latif. Oleh karena itu, dari sudut etimologi, konsep kla­­sik mengenai konsti­tusi dan konstitusionalisme dapat ditelusuri lebih mendalam dalam perkembangan penger­tian dan penggunaan perkataan politeia dalam bahasa Yunani dan perkataan constitutio dalam bahasa Latin, serta hubungan di antara keduanya satu sama lain di se­panjang sejarah pemikiran maupun pengalaman praktik kehidupan kenegaraan dan hukum.
Perkembangan-perkembangan demikian itu­lah yang pada akhirnya mengantarkan umat ma­nu­sia pada pe­ngertian kata constitution itu dalam bahasa Inggris modern. Dalam Oxford Dictionary, perkataan consti­tution dikaitkan dengan beberapa arti, yaitu: “… the act of establishing or of ordai­ning, or the ordinance or re­gu­lation so establi­shed”. Selain itu, kata constitution juga diartikan sebagai pembuatan atau penyusunan yang me­nentukan hakikat sesuatu (the “make” or com­po­sition which determines the nature of any­thing) yang dalam hal ini adalah entitas suatu negara.
Dalam pengertiannya yang demikian itu, kon­stitusi selalu dianggap “mendahului” dan “menga­tasi” pemerin­ta­han dan segala keputusan serta peraturan lainnya. A Constitution, kata Thomas Paine, “is not the act of a go­vern­ment but of the people constituting a govern­ment”. Kon­stitusi disebut mendahului, bukan karena urutan waktunya, melainkan dalam sifatnya yang supe­rior dan kewenangannya untuk mengikat. Oleh sebab itu, Charles Howard McIlwain (1966:20) menjelaskan: In fact, the traditional notion of constitu­tionalism before the late eighteenth century was of a set of prin­ciples embodied in the institutions of a nation and neither external to these nor in existence prior to them’.
Oleh karena itu, konstitusi dan konstitusionalisme selalu dilihat sebagai seperangkat prinsip-prinsip yang tercermin dalam kelembagaan suatu bangsa dan tidak ada yang mengatasinya dari luar serta tidak ada pula yang mendahuluinya. Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Hal ini­lah yang disebut oleh para ahli sebagai constituent power yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan se­kaligus di atas sistem yang diaturnya (Brian Thomson, 1997:5).
Dalam hubungan dengan pengertian consti­tuent power tersebut di atas, muncul pula penger­tian consti­tuent act. Konstitusi adalah constituent act, bukan produk peraturan legislatif yang biasa (ordinary legislative act). Constituent power mendahului konstitusi, dan konstitusi mendahului organ pe­me­rintahan yang diatur dan dibentuk berdasarkan konstitusi itu. Seperti dikatakan oleh Bryce (1901:151), kon­sti­tusi tertulis merupakan:
The instrument in which a constitution is embodied proceeds from a source different from that whence spring other laws, is regulated in a different way, and exerts a sovereign force. It is enacted not by the ordi­nary legislative authority but by some higher and spe­ci­ally empowered body. When any of its provisions con­flict with the provisions of the ordinary law, it prevails and the ordinary law must give way.

Oleh karena itu, dasar keberadaan dan kedudukan konstitusi adalah kesepa­katan umum atau persetujuan bersama (general consensus) seluruh rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara(William Andrews, 1968: 9). Kata kunci­nya adalah konsensus atau general agreement.
Berdasarkan berbagai dasar yang ada maka penulis tertarik untuk memperdalan hal yang sifatnya dasar akan tetapi menjadi sangat penting untuk pemahaman kedepannya. Karena masyarakat awam juga belum begitu memahami antara hukum dan konstitusi. Oleh karena itu, penulis mengangkat judul ‘Pemahaman Hukum dan Konstitusi ( Pendalaman Perbedaan antara Hukum dan Konstitusi berdasarkan perspektif Keilmuan)’
Tinjauan tentang Teori Konstitusi
Menurut Aristoteles sebagaimana dikutip oleh C.F Strong, konstitusi diklasifikasikan menjadi 2 kelas besar, yaitu konstitusi yang bagus dan konstitusi yang jelek. Masing-masing dari 2 kelas besar tersebut dibagi tipe pemerintah, yaitu pemerintah 1 orang, beberapa orang dan banyak orang. Adapun klasifikasi konstitusi yang baik,dimana dalam bentuk pemerintah oleh 1 orang disebut Monarkhi, dimana dalam bentuk pemerintah oleh beberapa orang disebut aristokrasi, dan dalam bentuk pemerintahan oleh banyak orang disebut polity. Sedangkan dalam klasifikasi konstitusi yang jelek, apabila dalam bentuk pemerintah oleh 1 orang disebut dengan Tyrani atau Despotisme, dalam pemerintahan beberapa orang disebut dengan pemerintahan Oligharki, dan dalam bentuk pemerintahan oleh banyak orang disebut dengan Demokrasi. (Sayuti Una, 2004 : 51)
Pada perkembangannya, konstitusi telah diklasifikasikan sesuai dengan aspek-aspeknya, yaitu dipandang dari aspek bentuknya, dari proses amandemennya, dari tipe pemerintahan negara, dari sistem pemerintahan dan dipandang dari dari sisi bentuk negara. Pertama dipandang dari aspeknya bentuknya, konstitusi diklasifikasikan menjadi yang dikodifikasi dan tidak dikodifikasi atau berbentuk dokumen dan tidak berbentuk dokumen. Menurut Wheare, dipandang dari bentuknya, konstitusi dapat dibagi menjadi konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Kedua dipandang dari proses amandemennya. Konstitusi dapat diklasifikasikan kepada konstitusi flexible dan konstitusi rigid. Jika diketemukan adanya proses amandemen yang mudah, artinya tidak ada persyaratan khusus didalamnya, maka konstitusi itu disebut fleksibel, jika berlaku sebaliknya maka konstitusi itu dikatakan kaku (rigid). Ketiga Klasifikasi konstitusi juga dilihat dari tipe pemerintahan negara, apakah pemerintah itu bersifat kesatuan (unitary) atau pemerintahan negara serikat. Menurut N. Jayapalan, dalam konstitusi negara kesatuan setiap bentuk aktifitas pemerintahan, termasuk pemerintahan lokal, ditetapkan oleh pusat sendiri. Akan tetapi, harus berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sementara terhadap konstitusi pemerintahan negara federal, tidak ada pemisahan wewenang baik oleh pusat maupun negara-negara bagian. Mereka menjalankan tugasnya sebagaimana yang ditentukan oleh konstitusi. Keempat, dipandang dari sistem pemerintahan, klasifikasi konstitusi menjadi konstitusi pemerintahan presidensiil (non-parliamentary of fixed axecutive) atau sistem parlementer (parliamentary executive). Kelima, dipandang dari sisi bentuk negara, konstitusi diklasifikasikan kepada konstitusi Monarkhi dan konstitusi Republik. Klasifikasi ini menurut wheare sangat penting karena status dan kekuasaan presiden dalam konstitusi republik berbeda dengan kekuasaan raja dalam konstitusi monarkhi. Kemudian dari perbedaan tersebut dapat dipahami antara apa yang dianggap sebagai pemerintahan rakyat atau demokratis dan bagaimana pula sistem absolute, otokrasi atau diktator. Dalam sistem Monarkhi, raja hanya bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri, sedangkan dalam sistem republik, presiden bertanggungjawab kepada rakyat.
Konstitusi perlu diperhatikan atau diberikan penilaian, menurut Karl Loewenstein ada tiga jenis penilaian terhadap konstitusi, yaitu:
1)      Nilai Normatif yaitu apabila suatu konstitusi telah resmi diterima oleh suatu bangsa, maka konstitusi itu bukan saja berlaku dalam arti hukum, melainkan merupakan suatu kenyataan dan efektif, artinya konstitusi itu dilaksanakan secara murni dan konsekuen.
2)      Nilai Nominal yaitu suatu konstitusi secara hukum berlaku, namun berlakunya itu tidak sempurna, karena ada pasal –pasal tertentu  yang dalam kenyataannya tidak berlaku, seperti dalam UUD 1945. Dalam Pasal 28 UUD 1945 disebutkan adanya kemerdekaan berserikat dan berkumpul. Akan tetapi dalam prakteknya pelaksanaan pasal itu banyak tergantung kepada kemauan penguasa (pada masa orba). Konstitusi yang demikian bernilai nominal.
3)      Nilai Semantik yaitu konstitusi itu secara hukum tetap berlaku, tetapi dalam pelaksanaannya hanya sekedar untuk melaksanakan kekuasaan politik. Jadi, konstitusi disini hanya sekedar istilah, sedangkan dalam pelaksaannya digantikan dengan kepentingan penguasa. Konstitusi demikian dapat dinilai hanya semantik atau simbolik, contohnya pelaksanaan UUD 1945 pada masa orde lama (Kusnardi, 1983: 72-75).
PEMBAHASAN

Konstitusi merupakan hukum dasar yang harus dijadikan pegangan bersama dalam rangka penyelenggaraan suatu negara. Konstitusi dapat berupa hukum dasar yang tertulis yang lazim disebut UUD, dan dapat pula tidak tertulis. Tidak semua negara memiliki konstitusi tertulis atau UUD. Kerajaan Inggeris biasa disebut sebagai negara konstitusional, tetapi tidak memiliki satu naskah UUD sebagai konstitusi tertulis. Oleh sebab itu, di samping karena adanya negara yang dikenal sebagai negara konstitusional tetapi tidak memiliki konstitusi tertulis, nilai-nilai dan norma-norma yang hidup dalam praktek penyelenggaraan negara juga diakui sebagai hukum dasar, dan tercakup pula dalam pengertian konstitusi dalam arti yang luas. Karena itu, UUD sebagai konstitusi tertulis beserta nilai-nilai dan norma hukum dasar yang tidak tertulis yang hidup sebagai konvensi ketatanegaraan dalam praktek penyelenggaraan negara sehari-hari, termasuk ke dalam pengertian konstitusi atau hukum dasar (droit constitusionnel) suatu negara.    
Dalam penyusunan suatu konstitusi tertulis, nilai-nilai dan norma dasar yang hidup dalam masyarakat dan dalam praktek penyelenggaraan negara turut mempengaruhi perumusan suatu norma ke dalam naskah UUD Dasar. Karena itu, suasana kebatinan (geistichenhentergrund) yang menjadi latar belakang filosofis, sosiologis, politis, dan historis perumusan juridis suatu ketentuan Undang-Undang Dasar perlu dipahami dengan seksama untuk dapat mengerti dengan sebaik-baiknya ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal UUD. UUD tidak dapat dipahami hanya melalui teksnya saja. Untuk sungguh-sungguh mengerti, kita harus memahami konteks filosofis, sosio-historis, sosio-politis, sosio-juridis, dan bahkan sosio-ekonomis yang mempengaruhi perumusannya.  Di samping itu, setiap kurun waktu dalam sejarah, memberikan pula kondisi-kondisi kehidupan yang membentuk dan mempengaruhi kerangka pemikiran (frame of reference) dan medan pengalaman (field of experience) dengan muatan kepentingan yang berbeda, sehingga proses pemahaman terhadap suatu ketentuan UUD dapat terus berkembang dalam praktek di kemudian hari. Karena itu, penafsiran terhadap UUD di masa lalu, masa kini, dan di masa yang akan datang, memerlukan rujukan standar yang dapat dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya, sehingga UUD tidak menjadi alat kekuasaan yang ditentukan secara sepihak oleh pihak manapun juga. Untuk itulah, menyertai penyusunan dan perumusan naskah UUD, diperlukan pula adanya Pokok-Pokok Pemikiran konseptual yang mendasari setiap perumusan pasal-pasal UUD serta keterkaitannya secara langsung atau tidak langsung terhadap semangat proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
UUD 1945 sebagaimana terakhir diubah pada tahun 1999, 2000, 2001 sampai tahun 2002 merupakan satu kesatuan rangkaian perumusan hukum dasar Indonesia di masa depan. Isinya mencakup dasar-dasar normatif yang berfungsi sebagai sarana pengendali (tool of social and political control) terhadap penyimpangan dan penyelewengan dalam dinamika perkembangan zaman dan sekaligus sarana pembaruan masyarakat (tool of social and political reform) serta sarana perekayaan (tool of social and political engineering) ke arah cita-cita kolektif bangsa. Belajar dari kekurangan sistem demokrasi politik di berbagai negara di dunia, yang menjadikan UUD hanya sebagai konstitusi politik, maka UUD ini juga berisi dasar-dasar pikiran mengenai demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial. Karena itu, UUD ini dapat disebut sebagai konstitusi politik, konstitusi ekonomi dan sekaligus konstitusi sosial yang mencerminkan cita-cita kolektif bangsa, baik di bidang politik dan ekonomi maupun sosial-budaya, dengan tetap memelihara tingkat abstraksi perumusannya sebagai hukum dasar (rechtsidee).            
Sebagai hukum dasar, perumusan isinya disusun secara sistematis mulai dari prinsip-prinsip yang bersifat umum dan mendasar, dilanjutkan dengan perumusan prinsip-prinsip kekuasaan dalam setiap cabangnya yang disusun secara berurutan. Pasal-pasal dan ayatnya dirumuskan dalam tingkat abstraksi yang sesuai dengan hakikatnya sebagai hukum dasar, dengan kesadaran bahwa pengaturan yang bersifat rinci akan ditentukan lebih lanjut dalam UU. Makin elastis suatu aturan, makin terbuka kemungkinannya untuk menampung dinamika perkembangan zaman, sehingga UUD tidak lekas ketinggalan zaman (verounderd). Namun demikian, meskipun perumusan UUD ini bersifat garis besar, haruslah disadari jangan sampai ketentuan yang diaturnya bermakna ganda atau dapat ditafsirkan secara sewenang-wenang oleh pihak yang berkuasa.               
Oleh karena itu, yang terpenting adalah semangat dan kemauan politik (political will) para penyelenggara negara. Meskipun dirumuskan dengan jelas bahwa Undang-Undang Dasar menganut asas kedaulatan rakyat atau demokrasi, jika para penyelenggara negara tidak berjiwa demokrasi dan tidak mempunyai tekad dan komitmen untuk mewujudkan demokrasi itu dalam kenyataan atau hanya menjadikan demokrasi hanya sebagai retorika semata, maka pasal yang jelas menentukan adanya demokrasi itu tidak akan terwujud dalam praktek. Sebaliknya, meskipun perumusan UUD tidak sempurna, tetapi semangat para penyelenggara negara bersih dan tulus dalam menjalankan konstitusi, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, maka kekurangan dalam perumusan pasal UUD tidak akan merintangi jalannya penyelenggaraan negara dengan sebaik-baiknya menuju terwujudnya cita-cita bangsa berdasarkan kelima sila Pancasila yang dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Hukum yang menjadi acuan dalam hal ini menjadi lebih mudah dipahami oleh masyarakat apabila konstitusi dapat dibuat dan dijalankan dengan baik. Perkembangan kesadaran berkonstitusi pun otomatis dapat terbentuk dan hakekat hukum akhirnya bisa ditegakkan.
Berdasarkan sifatnya sebagai hukum negara tertinggi, yang berisi aturan pokok atau dasar, undang-undang dasar seharusnya diberikan sifat utuk tidak diganti-ganti dengan undang-undang dasar lain, apabila dengan hakekatnya akan merupakan pergantian negara. Tentu saja undang-undang dasar tidak boleh ketinggalan dengan perkembangan zaman. Dengan tidak mengurangi sifatnya yang kekal, undang-undang dasar dapat saja mengalami perubahan, tambahan dan penyempurnaan demi menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Perubahan dan penyempurnaan itu tidak dilakukan dengan semena-mena, tetapi lazim dilakukan dengan cara istimewa, yaitu dengan cara yang berat kalau dibandingkan dengan cara mengubah peraturan-peraturan yang lain. Dalam teori konstitusi dikenal sifat dari undang-undang dasar, yaitu luwes atau kaku, tertulis dan tidak tertulis (Syahrial, 2002: 100).
KESIMPULAN
Berdasarkan dari uraian diatas dan rumusan masalah yang ada, maka penulis menyimpulkan bahwa Hukum dan teori konstitusi memiliki saling keterkaitan yang erat. Konstitusi merupakan sarana dari penegakan hukum.
Di Indonesia sendiri dalam penjelasan UUD 1945 menyatakan bahwa UUD suatu negara ialah hanya sebagian dari hukum dasar negara itu. UUD ialah hukum dasar yang tertulis, sedangkan disampingnya UUD itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan yang timbul dan terprlihara dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis.
Sebagaimana dijelaskan diatas terkandung pengertian hukum dasar yang meliputi dua macam, yaitu hukum dasar tertulis (undang-undang dasar) dan hukum dasar tidak tertulis (konvensi). Oleh karena sifatnya tertulis, maka undang-undang dasar itu rumusannya tertulis dan tidak mudah berubah.
Jika pengertian undang-undang dasar dihubungkan dengan pengertian konstitusi, maka arti undang-undang dasar itu baru merupakan sebagian dari pengertian konstitusi, yaitu konstitusi yang tertulis. Kesalahan paham modern terletak pada penyamaan arti konstitusi dengan undang-undang dasar, sedangkan konstitusi itu sebenarnya tidak hanya bersifat yuridis semata-mata, tetapi juga sosiologi dan politis.
Pengertian hukum dasar  itu sendiri memiliki pemaknaan yang berbeda. Hukum (recht) itu bisa tertulis atau tidak tertulis. Jadi segala hukum yang tertulis maupun tidak tertulis dapat disalin dengan perkataan hukum.
SARAN
Dari penjabaran diatas, maka penulis berusaha memberikan pemikiran sebagai solusi atau jalan keluar dari permasalahan yang ada. Dalam masalah hukum dan teori konstitusi di Indonesia khususnya, penulis memiliki beberapa saran, yaitu:
1.      Pentingnya pengetahuan di masyarakat tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan hukum, konstitusi, undang-undang dasar dan teori konstitusi.
2.      Sinkronisasi antara hukum dan teori konstitusi akan berjalan beriringan apabila pemerintah sebagai pembuat regulasi dapat memfasilitasi apa yang masyarakat inginkan.
3.      Munculnya kesadaran berkonstitusi dalam tiap-tiap individu warga negara agar tercipta suasana yang tertib hukum.
4.      Sosialisasi konstitusi atau perundang-undangan jaga perlu dilakukan secara sempurna dan menyentuh seluruh lapisan masyarakat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar