Saudara
sekalian, kita ketahui bersama saat ini dunia sedang diguncang oleh issue radikalisme.
Gerakan-gerakan separatis yang berlatarbelakang radikalisme begitu menjamur
belakangan ini. Sebetulnya hal demikian
tidak hanya terjadi dalam era sekarang saja karena dalam perjalanan sejarah
beberapa Negara di dunia tidak dapat dilepaskan dengan peristiwa pergerakan
organisasi radikal. Secara luas, radikalisme ini tidak hanya menjangkit pada
salah satu agama atau keyakinan saja, tetapi radikalisme muncul dan berkembang
dalam berbagai macam versi.
Beberapa
Negara pernah dan sedang menghadapi problem radikalisme tersebut. Misalnya saja
di India, gerakan Kelompok Hindu
radikal, Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS) yang kerap melakukan penyerangan
pertemuan ibadah Minggu sebuah persekutuan doa umat kristen di barat daya
Karnataka, di selatan India. Tahun 2014
di Republik Afrika Tengah memanas ketika pejuang Seleka yang mayoritas Muslim
menggulingkan presiden Francois Bozize, seorang Kristen yang memperoleh
kekuasaan dalam kudeta 2003. Para pejuang Muslim kemudian menempatkan Michel
Djotodia, seorang Muslim, sebagai presiden sementara. Hal tersebut tidak dapat
diterima oleh kelompok Kristen Radikal yang kemudian kerap kali melakukan
penyerangan terhadap mesjid-mesjid di Republik Afrika Tengah. Di Israel
Sebanyak 14 serangan oleh terduga kaum ekstremis kanan Yahudi sebagai kelompok
radikal telah dilakukan. Beberapa
serangan dilakukan selama satu bulan terakhir, termasuk sebuah ancaman kematian
yang ditulis dalam bahasa Ibrani ke Majelis Uskup di Notre Dame Centre di
Jerusalem Timur. Tahun 2013 kelompok Buddha radikal di Sri Lanka
menuntut dihapuskannya sistem sertifikasi makanan halal. Kelompok radikal ini
menuduh umat Islam dan Kristen mempromosikan ekstremisme dan mencoba
menggoyahkan keimanan umat Buddha.
Fakta-fakta demikian yang kemudian menjadi kekhawatiran
masyarakat di seluruh dunia. Karena hal tersebut kadangkala disalah artikan
oleh masyarakat untuk menstigmakan agama erat berhubungan dengan terorisme.
Perang, kekerasan, dan pengrusakan selalu dikaitkan dengan agama sebagai
alasannya. Untuk itu, radikalisme ini adalah bahaya bersama bagi seluruh umat
beragama. Radikalisme merupakan ancaman besar bagi perdamaian dunia. Cita-cita
untuk menciptakan suatu pola peradaban yang damai dan sejahtera menjadi sulit
diwujudkan jika masih ada gerakan-gerakan yang didasari dengan motif kebencian
dan kecurigaan berlebihan terhadap perbedaan.
Radikalisme secara harfiah berarti “ 1 paham
atau aliran yg radikal dl politik; 2 paham atau aliran yg
menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dng cara kekerasan
atau drastis; 3 sikap ekstrem dalam aliran politik. Melihat
dari konteks gramatikal jika dikaitkan dengan apa yang terjadi saat ini maka
radikalisme bisa diartikan sebagai paham ekstrem dalam menganut dan menjalankan
suatu keyakinan. Khusus terkait hal radikalisme dalam agama secara historis
memang muncul sebagai fenomena global yang menjadi persoalan yang harus
diselesaikan. Radikalisme sendiri sudah muncul pada sejak lama dan kemudian
berkembang pada masa peradaban modern dengan dalih perubahan pola pikir.
Dalam era peradaban modern, paham radikal tersebut begitu
cepat tumbuh berkembang di seluruh dunia. Radikalisme sesungguhnya muncul akibat
berkembangnya pergaulan dunia yang secara otomatis mengakibatkan percampuran
kultur antar bangsa. Hal tersebut yang menyebabkan pemahaman akan faham-faham
konservatif menjadi sedikit demi sedikit terbarukan dengan adanya pembauran
dengan budaya-budaya barat. Akan tetapi akulturasi bagi sebagian kaum
konservatif dianggap sebagai proses yang membahayakan kemurnian ajaran itu
sendiri. Kaum-kaum radikal inilah yang kemudian menutup diri terhadap masuknya
budaya selain dari yang diamanatkan ajarannya dalam suatu pola kehidupan
sosial. Kaum radikal menginginkan kembalinya kemurnian suatu ajaran yang
dijadikan satu-satunya pedoman. Hal tersebutlah yang memicu perkembangan
muculnya organisasi radikal di berbagai Negara.
Radikalisme tentu akan memicu upaya-upaya perlawanan yang
membahayakan, hal demikian mengakibatkan hilangnya rasa aman di masyarakat
dunia, bahkan seringkali ancaman-ancaman kerap mewarnai aktifitas
gerakan-gerakan radikal tersebut. Ancaman-ancaman tersebut menjadi terror yang
merusak perdamaian, keamanan dan ketenteraman hidup. Seolah menjadi kebiasaan
yang mengakar dari kelompok-kelompok tersebut, maka kita kenal sekarang adanya
kelompok teroris yang menanamkan terorisme sebagai faham dalam upaya-upayanya
untuk mencapai sebuah tujuan. Keinginan yang besar dari suatu kelompok untuk
memaksakan ideologinya dilakukan dengan berbagai cara seperti pemberontakan
lewat perlawanan dengan kekerasan sebagai tradisinya. Terorisme yang dianut
guna mencapai tujuannya tersebut seringkali memakan korban dan menumpahkan
darah orang-orang yang tidak bersalah. Bagi mereka, orang-orang yang tidak
sepaham wajib dimusuhi bahkan tidak jarang layak dibunuh. Pola pikir yang
seperti inilah yang seharusnya diubah total. Kerusakan fundamental terjadi pada
pribadi-pribadi yang kehilangan arah tersebut. Untuk itu dunia tidak
henti-hentinya melakukan perlawanan terhadap radikalisme dan terorisme. Issue pencegahan dan pemberantasan terorisme
acapkali menjadi issue utama dalam konferensi-konferensi internasional.
Indonesia, saat ini sadar betul bahwa radikalisme merupakan gerakan-gerakan
radikal yang menjurus kepada terorisme yang membahayakan dan dapat mengganggu
stabilitas keamanan nasional. Untuk itu, Pemerintah Indonesia telah mengambil
langkah-langkah baik preventif maupun represif. Pasca beberapa peristiwa
pengeboman, Pembentuk Undang-Undang pada masa itu mulai menyusun Undang-Undang
yang mengatur mengenai upaya-upaya pencegahan dan juga penanggulangan
terrorisme. Pada tahun 2002 tepatnya setelah tragedi “bom bali” keluarlah Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian
disusul dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
Tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme. Alasan yang mendasari dibentuknya PERPPU tersebut adalah komitmen
nasional dan internasional untuk menghentikan ancaman terhadap perdamaian dan
keamanan nasional maupun internasional akibat terrorisme. Kemudian di Tahun
2013, PERPPU tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang, yaitu Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2013 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang ditambah dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang yang kemudian dibatalkan oleh
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Nomor 13/PUU-I/2003.
Pada tahun 2006, Indonesia telah berhasil meratifikasi
Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme yaitu dengan
dikeluarkannnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengesahan International Convention For The Suppression
Of The Financing Of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan
Pendanaan Terorisme, 1999). Hal tersebut merupakan terobosan positif yang
dilakukan dunia internasional untuk membendung gerakan terrorisme, karena
dengan menghentikan laju pendanaannnya maka gerakan-gerakan terroris menjadi
terbatas. Upaya Indonesia dalam hal pemberantasan terrorisme mendapat perhatian
dari Negara lain. Hal tersebut terbukti dengan disahkannya Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Pengesahan Memorandum Saling
Pengertian Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Federasi Rusia
Tentang Kerjasama Di Bidang Pemberantasan Terrorisme (Memorandum Of
Understanding Between The Government Of The Republic Of Indonesia Anda The
Government Of The Russian Federation On Cooperation In Combating Terrorism).
Langkah konkrit yang diwujudkan oleh Pemerintah adalah dengan
dibentuknya Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 dan
telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Perubahan
Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010. BNPT memiliki tugas: Menyusun kebijakan, strategi, dan
program nasional di bidang penanggulangan terorisme; Mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait
dalam pelaksanaan dan melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme; Melaksanakan kebijakan di bidang
penanggulangan terorisme dengan membentuk satuan-satuan tugas yang terdiri dari
unsur-unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi, dan
kewenangan masing-masing. Diharapkan dengan adanya badan khusus, dapat
menanggulangi permasalahan radikalisme dan terorisme yang berkembang di
Indonesia. Keaktifan Indonesia dalam upaya pemberantasan terrorisme ini terus
berlanjut di Tahun 2012 diterbitkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2012 Tentang
Pengesahan Asean Convention On Counter Terrorism (Konvensi ASEAN mnegenai
Pemberantasan Terrorisme). Tahun 2013 terbit Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013
Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terrorisme dan di
Tahun 2014 terbit secara khusus Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2014 Tentang
Pengesahan International Convention For The Suppression Of Acts Of Nuclear
Terrorism (Konvensi Internasional Penanggulangan Tindakan Terrorisme Nuklir).
Hal-hal tersebut membuktikan betapa pentingnya upaya pencegahan dan
pemberantasan terrorisme dilakukan oleh Pemerintah Indonesia bahkan dalam ruang
lingkup yang lebih luas, yaitu dunia internasional.
Dewasa
ini issue global terkait dengan gerakan radikal adalah tentang ISIS. Secara
historis semua bermula sejak revolusi Suriah di tahun 2011, sebagian pejuang
asal Suriah dari Irak kembali ke Suriah untuk melawan rezim Presiden Bashar Al
Assad dengan kemudian membentuk Jabhat Al Nusrah (JN) yang merupakan kelompok
terbesar dari pejuang Suriah. Sedikit demi sedikit beberapa kota mulai
dibebaskan dan kemudian setelah banyak kota dibebaskan tiba-tiba pemimpin
mereka yaitu Abu Bakar Al Baghdady menghapus JN dan merubahnya menjadi Daulah
Islam Iraq dan Syam atau yang kemudian kita kenal dengan ISIS (Islamic State in
Iraq and Syam). AKan tetapi dalam perjalanannya, ISIS banyak melakukan
tindakan-tindakan terror yang menyimpang dari syariah itu sendiri. Berikut ini
beberapa hal yang dilakukan ISIS:
1. Sikap mengkafirkan orang lain yang
tidak sekelompok dengan ISIS walaupun mereka adalah muslim yang benar, dan
menghalalkan darahnya;
2. Menyerang pejuang/mujahidin Surian
dari kelompok lain seperti JN, Ahrarus Syam, Jabhat Al Islamiyah dll, sehingga
malah memecah konsentrasi para pejuang sunny dalam melawan kekejaman tentara
presiden Bashar Al Assad;
3. Menolak Mahkamah Syariah yang digagas
para ulama netral untuk mengadili mujahidin yang terlibat bentrokan ketika terjadi
perselisihan diantara pejuang Suriah;
4. Menolak perintah Al-Qaidah untuk
kembali ke Iraq, dan malah menuduh balik Al-Qaidah dengan tuduhan-tuduhan
negatif;
5. Berlebih-lebihan (Ghuluw) dalam hal
menghukum, seperti memenggal kepala, menyalib, membakar dan lain-lain yang
dilarang dalam manhaj islam yang lurus (termasuk menghukum orang yang sudah
mendapat jaminan keamanan, padahal dalam syariah tidak diperbolehkan).
Saat ini,
disinyalir sebagian warga Indonesia yang pernah bermukim di Baghdad, Irak pasca
jatuhnya Saddam Husain, ada yang bergabung dalam gerakan radikal ISIS. Warga
Indonesia itu adakalanya berasal dari keluarga TKI/ TKW yang bekerja di Irak
dan Syam (Suriah), namun terkadang sengaja berangkat ke Irak dan Suriah untuk
menjadi relawan perang, guna melawan musuh-musuh ISIS baik dari kalangan kaum
kafir (AS dan sekutunya) maupun kaum muslimin yang dianggap berlawanan dengan
aqidah dan politik ISIS. Yang mencemaskan adalah akhir-akhir ini di Indonesia
mulai dideklarasikan pendirian cabang Khilafah Islamiyah versi ISIS ini di
beberapa daerah, seperti di Jakarta, Bandung, Solo, Jawa Timur dan lainnya yang
dilakukan oleh para simpatisan ISIS, dan dimotori oleh para mantan mukimin Irak
dan Suriah tersebut.
Menteri
Agama, Lukman Hakim Saifuddin menilai ISIS sebagai organisasi pergerakan yang
berpaham radikal, menggunakan kekerasan demi memperjuangkan yang diyakininya.
Umat Islam Indonesia harus mendukung upaya negara untuk mencegah meluasnya
gerakan tersebut di tanah air dan tidak terpengaruh. ”Mengangkat sumpah dan berjanji setia kepada negara asing atau bagian
dari negara asing itu bisa menyebabkan orang kehilangan kewarganegaraan RI.
Kita harus dukung aparat penegak hukum untuk bekerja profesional dalam
menanganinya,” ujar Lukman. Untuk itu sebaiknya umat Islam Indonesia mawas
diri. Dakwah Islam hendaknya dilakukan dengan mengajak dan merangkul semua
kalangan lewat cara-cara yang baik dan penuh hikmah, tidak dengan menebar
ketakutan dan kekerasan. Di era globalisasi ini, kita harus mampu memperkuat
diri sendiri guna menangkal anasir yang bisa mengusik keutuhan kita sebagai
sesama umat beragama, berbangsa, dan bernegara.
Kepala
BNPT Ansyaad Mbai juga menegaskan bahwa pemerintah Suriah telah menetapkan ISIS
sebagai kelompok teroris. Iran juga minta bantuan AS untuk menangkal serangan
ISIS. “Sekjen PBB serta negara-negara
Eropa melarang keras warganya pergi ke daerah tersebut.” Maka menurut
Ansyaad, bila ada Warga Negara Indonesia (WNI) yang bergabung dengan kelompok
tersebut bisa dikatakan anggota teroris. Apalagi, BNPT telah mendapatkan
laporan di sejumlah daerah mengenai kegiatan berbaiat kelompok ISIS. Daerah itu
meliputi Jakarta, Bima, Kalimantan dan Sulawesi. Oleh karena hal-hal yang
demikian, maka seyogyanya kita sebagai muslim dan warga Negara yang baik dapat
saling bekerjasama untuk mencegah dan mengantisipasi gerkan radikal yang justru
membahayakan keutuhan NKRI.
Bicara
soal radikalisme dan terrorisme maka tidak bisa dilepaskan juga dengan
separatisme. Upaya yang dilakukan kelompok-kelompok radikal memiliki tujuan
untuk memperoleh pengakuan bahwa ideologinya yang paling benar, sampai-sampai
kelompok tersebut siap melakukan perlawanan atau bahkan menyatakan perang
terhadap status quo demi mengganti
ideologi sebuah Negara. Tentu kita belum lupa dengan apa yang terjadi di Aceh,
Maluku Selatan dan Papua. Radikalisme yang berujung pada separatisme yaitu
keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI sangat menggannggu stabilitas
keamanan nasional. Selain itu, harus disayangkan apabila harus ada pertumpahan
darah sesama saudara sebangsa dan setanah air hanya karena keinginan dan
egoisme untuk membangun suatu tatanan bernegara yang baru berdasarkan
ideologinya. Untuk itu perlu dipahami bersama oleh seluruh masyarakat Indonesia
bahwa Pancasila sebagai ideologi bangsa patut dijaga, persatuan dan kesatuan
demi utuhnya NKRI menjadi harga mati bagi kita semua.
Radikalisme,
terrorisme dan separatisme menjadi gangguan yang harus segera diberantas, dan
hal ini menjadi bagian dari tanggung jawab penegak hukum. Tak terkecuali bagi
Hakim Konstitusi. Mahkamah Konstitusi telah memutus beberapa perkara yang
berkaitan dengan terorisme dan penodaan agama., dan dalam putusan tersebut
memuat pertimbangan hukum dan pendapat Mahkamah mengenai permasalahan radikalisme
dan terorisme di Indonesia. Jika di Indonesia radikalisme sering berkaitan
dengan issue SARA terutama agama, maka Mahkamah Konstitusi pernah memberikan
pendapat melalui putusannya, antara lain, “...bahwa setiap agama
memiliki pokok-pokok ajaran yang diterima umum pada internal agama tersebut,
oleh karena itu yang menentukan pokok-pokok ajaran agama adalah pihak internal
agama masing-masing. Indonesia sebagai sebuah negara yang menganut paham agama
tidak dipisahkan dari negara, memiliki Departemen Agama yang melayani dan
melindungi tumbuh dan berkembangnya agama dengan sehat, dan Departemen Agama
memiliki organisasi serta perangkat untuk menghimpun berbagai pendapat dari
internal suatu agama. Jadi dalam hal ini negara tidak secara otonom menentukan
pokokpokok ajaran agama dari suatu agama, akan tetapi hanya berdasarkan
kesepakatan dari pihak internal agama yang bersangkutan”.
Sebenarnya
permasalahan radikalisme adalah permasalahan ideologi yang penyebarannya sulit
dideteksi. Pemahaman ini sangat mudah ditularkan dari satu orang ke orang yang
lain. Melalui diskursus yang tidak dikawal dengan baik oleh para ahli menjadi
sangat rawan untuk disusupi cara-cara berfikir radikal. Terutama dalam hal
pendidikan bagi remaja. Remaja seringkali dijadikan objek/sasaran bagi penyebar
radikalisme. Remaja memiliki rasa keingintahuan yang besar, sehingga memiliki
minat belajar yang tinggi pula. Oleh karena hal tersebut, perlunya bimbingan
yang tepat bagi mereka agar mereka tidak mendapatkan ilmu dari pihak-pihak yang
kurang tepat. Maka dari itu bagi seluruh muslimin dan muslimat di Salatiga khususnya,
rasa keingintahuan adalah hal positif, namun dalam hal proses pendalaman ilmu
tersebut tetap harus meminta pertimbangan dan nasihat dari pengajar-pengajar saudara-saudara
sekalian. Hal yang paling wajib dipahami oleh kita bersama adalah pentingnya
dijunjung tenggang rasa dan saling menghargai satusama lain demi terjaganya
keutuhan NKRI yang kita cintai ini.