Minggu, 26 April 2015

SEKANTUNG BERAS DAN KEADILAN (MEMASTIKAN POSISI HUKUM BAGI MASYARAKAT MARGINAL)


                Fenomena pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional memberikan dampak yang signifikan bagi kehidupan sosial masyarakat. Semakin berjayanya liberalisme di bumi nusantara perlahan memperlebar jarak antara kaum elit dengan masyarakat marjinal. Dominasi ekonomi kalangan pengendali kian hari kian terasa, masyarakat miskin seolah tidak memiliki ruang sedikitpun untuk dapat hidup sejahtera. Jumlah masyarakat miskin saat ini mencapai 29,2 juta jiwa[1], jumlah yang besar tentunya dan menjadi permasalahan nasional yang harus segera diselesaikan.
Ketidakseimbangan perekonomian ini pada akhirnya berimbas kepada permasalahan politik dan hukum.  Ketidakberpihakan hukum kepada masyarakat miskin semakin kentara bilamana keadilan beradu antara dua kutub yang berbeda. Hukum seolah tidak berdaya apabila berhadapan dengan uang dan kekuasaan. Ironi yang lama-lama bisa menjadi identitas bangsa ini benar-benar melenyapkan keadilan yang menjadi impian masyarakat miskin. Benar adanya bahwa keadilan yang dimaksud adalah keadilan sosial sebagai nilai utama tertinggi dalam struktur dasar masyarakat[2].
            Idealnya, hukum dalam hal ini adalah berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial[3]. Namun pada kenyataannya di Indonesia saat ini, hukum hanya menjadi sarana penguasa untuk melanggengkan kekuasaan dengan tidak meratanya keadilan di masyarakat sebagai salah satu tujuan hukum itu sendiri. Law enforcement atau penegakkan hukum secara prosedural sebetulnya sudah diterapkan, akan tetapi sayangnya keadilan secara substansi tidak jarang jauh dari harapan, terutama bagi masyarakat miskin. Pengadilan seringkali hanya kaku dalam teks tanpa bersedia menggali konteks daripada aturan hukum itu sendiri. Penyelesaian kasus pencurian kakao oleh seorang nenek dan sandal jepit oleh seorang bocah menjadi bukti bahwa hukum masih belum menempatkan diri di posisi yang ideal bagi masyarakat miskin.
            Hukum yang baik seharusnya responsif dengan kebutuhan sosial. Hukum yang baik, menawarkan sesuatu yang lebih dari keadilan prosedural, harus juga berkompeten dan juga adil, hukum semacam itu seharusnya mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen bagi tercapainya keadilan substantif[4]. Liberalisme yang berkembang membuat kesenjangan antara kaum pemodal dengan kaum miskin semakin kentara. Mencari bentuk hukum yang pas dengan perkembangan sosial  dan nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia menjadi solusi yang bijak demi tercapainya keadilan bagi masyarakat miskin. Hukum dalam hal ini sebaiknya tidak hanya diartikan sempit dalam ruang undang-undang saja, perlunya semangat pembebasan dalam menerapkan hukum menjadi harapan guna menyejahterakan masyarakat. Penerapan hukum yang biasa disebut Hukum Progresif ini tidak ingin terjebak dalam cara berhukum yang statis[5].

            Dengan demikian, gejolak yang terjadi dalam kehidupan sosial serta merta mempengaruhi penegakan hukum yang ada. Hukum harus ditegakkan dengan tanpa pilih kasih, karena pada prinsipnya, masyarakat miskin memiliki hak yang sama dengan masyarakat lain di hadapan hukum (equality before the law), sehingga masyarakat miskin dapat benar-benar dapat menikmati sekantung beras dan keadilan.



[1] http://www.bps.go.id/?news=940.
[2] John Rawls dalam Bur Rasuanto, Keadilan Sosial, Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2005, hlm.20.
[3] Soedjono dirdjossiworo. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000,  hlm 154-155.
[4] Philip Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Bandung,  Nusa Media, 2010, hlm. 84.
[5] Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif:Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta:Genta, 2009, hlm.106.

Jumat, 24 April 2015

Doa Simbok


Paimin kadang merasa buntu,, tidak bijaknya dia jarang langsung berdoa,, seringnya melamun, atau pergi menyendiri,, sebetulnya bila dikampung dia jarang sekali jatuh kalut, karena ada rumput, berlarian saja diatasnya, rasanya bahagia seperti mengurai benang kusut. Bisa saja Paimin tertawa lepas, berguling-guling bersama bola yang menggelinding sana sini. Tapi itu dulu...

Sekarang apa yang bisa membuat Paimin lupa akan masalah hidupnya?., suasana kota? jelas bukan.. Kota terlalu ramai untuk mencari tempat bersembunyi. Lagipula setiap sudutnya  cuma berisi benci dan raut-raut lelah, entah dengan keadaan atau kenyataan yang diterimanya. 

Waktu berkejaran dengan harapan,, dan menariknya mereka saling balap,, kadang waktu didepan, kadang aneh juga, tertinggal di belakang. Paimin memang terus belajar dan tidak sendiri, hanya rasanya kadangkala ingin sekali berendam di kolam bundaran HI, "biar adem" dan terasa apa yang dilakukan jauh lebih gila daripada masalah yang dipunyainya. 

Tapi yasudahlah, ini konsekuensi,, setiap pilihan pasti punya konsekuensi. Yang bisa  dilakukan oleh Paimin adalah terus terlihat tangguh saja. Ingat dulu tekad dan usahanya untuk tinggal di Kota? rasanya gopoh dan seperti liuk-liuk jalan panjang. Hehe.. Paimin cuma rindu tentang detik detik Pukul 5 sore sampai tengah malam yang terasa begitu lama. Paimin rindu mimpinya yang selalu tuntas di setiap tidur malamnya karena waktu tidurnya yang panjang.

Baiklah,, nampaknya hari ini berbeda,, kelihatannya Paimin hendak berdoa, tapi Paimin tidak mahir berdoa,, maka dari itu doa Paimin singkat saja...

"Ya Allah, kabulkanlah doa Simbok... Amiiin...."...

Begitu saja cukup, karena Paimin yakin Doa Simbok sudah pasti berisi penuh tentang kebahagiaan anak lanangnya.....  

SUKSESI DALAM POLITIK BERMARTABAT



            Pasca Reformasi, konfigurasi politik di Indonesia menjadi berubah-ubah secara dinamis. Perkembangan politik semakin berliku-liku sesuai dengan kepentingan elit di masa ini. Partai politik memegang peranan yang sangat signifikan dalam hal membangun sistem kenegaraan yang sehat. Sebuah tata pemerintahan yang baik akan tercipta, jika atmosfer politik turut mendukung sebagai sebuah komponen yang baik pula.
            Ibarat putaran roda, siklus pergantian penguasa di negeri ini pun sudah terjadi. Dapat kita lihat peralihan dari penguasa menjadi oposisi ataupun sebaliknya. Seharusnya hal tersebut dapat diartikan bahwa memang saat ini suasana perpolitikan nasional sangat dinamis. Bagaimana tidak, Partai Politik sebagai perangkat demokrasi kemudian terlibat dalam kontestasi perebutan kekuasaan secara sehat dalam sebuah “ring” dan regulasi yang jelas. Namun tampaknya pasca Pilpres, kondisi politik nasional menjadi berubah. Ketegangan-ketegangan muncul akibat perhelatan 5 tahunan tersebut. Politik praktis yang dipertontonkan para elit dewasa ini seringkali tidak dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat (grassroot). Politik saling hina, saling “bunuh” atau saling telikung seolah telah menjadi konklusi dalam benak rakyat atau masyarakat awam. Politik yang secara harfiah dapat diartikan sebagai cara untuk memperoleh kekuasaan seolah menjadi luas dimengerti sebagai “apapun caranya untuk mendapatkan kekuasaan”. Publik menjadi terdoktrinasi dengan pemaknaan “apapun caranya” karena memang yang terlihat dalam kancah perpolitikan nasional adalah praktik dimaksud.
            Saat ini, nilai-nilai moral dan kultur tidak lagi menjadi pagar bagi praktik politik yang dijalankan oleh para elit. Seolah kekuasaan menjadi muara dari terselanggaranya demokrasi di tanah air tercinta ini. Suara rakyat kini seolah menjadi komoditas saja bagi para elit, suara yang bisa dijadikan “landasan lepas landas” bagi para elit di dalam “pesawat politik”. Hal-hal tersebut kemudian dapat ditemui dalam praktik suksesi di negeri ini, baik dalam ruang lingkup mikro maupun makro. Tidak ada lagi “ewuh pakewuh” di kalangan politisi, segala sesuatunya menjadi halal demi kekuasaan yang harus digenggam.
            Dalam hal suksesi, di zaman atau periode modern justru yang terlihat adalah praktik-praktik suksesi “klasik” yang sama dengan masa raja-raja dahulu. Raja turun karena pemberontakan atau pembunuhan, kemudian berlangsung begitu-begitu saja. Pertanyaan yang muncul adalah “apakah ini yang disebut sebagai politik yang bermartabat?”. Etika politik yang selama ini digembar gemborkan sebagai pegangan dalam menjalankan praktik politik seolah tidak kentara keberadaannya. Dapat kita lihat dalam tahapan kampanye Pilpres 2014 yang lalu, bagaimana politik “character assassination” begitu menjadi tren di kalangan politisi bahkan masyarakat pun akhirnya “terkontaminasi”. Tidak ada sopan santun atau tata krama ketimuran ala Indonesia yang seringkali dibanggakan oleh para leluhur kita.
            Dalam skala besar maupun kecil kita bisa melihat praktik-praktik suksesi yang kurang bermartabat,di dunia perpolitikan nasional. Demokrasi yang kita upayakan waktu demi waktu masih saja belum bisa diselenggarakan secara benar. Tidak perlu mengupas lagi terlalu dalam mengenai etika suksesi skala besar, suksesi skala kecil atau suksesi internal poliitik juga tidak menggambarkan adanya kedewasaan dalam diri politisi-politisi Indonesia. Memang tidak semua politisi atau kita tidak bisa men-generalisir seluruh politisi tidak dapat mencontohkan proses suksesi yang baik dan sehat, akan tetapi alangkah idealnya jika praktik suksesi ini dapat ditunjukkan dengan bersih, sehat dan menjunjung tinggi sportifitas.
Pengertian suksesi dalam ilmu biologi sebenarnya adalah proses perubahan ekosistem dalam kurun waktu tertentu menuju ke arah lingkungan yang lebih teratur dan stabil. Proses suksesi akan berakhir apabila lingkungan tersebut telah mencapai keadaan yang stabil atau telah mencapai klimaks. Jika diimplementasikan ke dalam pagelaran politik tentunya esensi dari pengertian suksesi (perspekrif biologi) dapat bersinergi dan memiliki kecenderungan yang sama. Proses pergantian kepemimpinan hendaknya selalu menuju ke arah pemimpin yang lebih baik, dan untuk mendapatkan pemimpin yang baik seyogyanya melalui suatu proses suksesi yang baik dan bermartabat.
Secara konkrit, beberapa partai politik baru-baru ini telah melakukan proses pergantian tangkup pimpinan, ada yang mulus melaluinya tanpa ada hambatan yang berarti dan tidak sedikit yang menyisakan konflik. Benturan antara ambisi kelompok orang dengan kelompok yang lain dalam ruang lingkup yang sama memang tidak mungkin dihindari, namun seharusnya hal tersebut bukan menjadi alasan untuk saling berseteru berkepanjangan. Sebetulnya masyarakat sudah jengah dengan tontonan politik perebutan kekuasaan dalam partai politik.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis yang juga bagian dari masyarakat penyimak politik nasional hanya bisa berharap kelak para politisi atau para elit negeri ini dapat menunjukkan kepada publik kinerjanya yang maksimal bukan hanya konflik tiada hentinya. Penulis berharap agar kedepan akan terwujudnya praktik demokrasi yang sesungguhnya. Bagaimana kondisi seperti pasca Pemilihan Presiden di Amerika Serikat antara Barack Obama dan John Mc Cain yang berkhir dengan ucapan Mc Cain kepada Obama. Keluasan hati dan kesiapan dalam kompetisi seyogyanya dimiliki para politisi agar tercipta sebuah suksesi yang bersih, sehat dan sportif, sehinnga tentunya menjadi bagian dari cara berpolitik yang bermartabat.