Kamis, 09 Juli 2015

PULIHNYA HAK POLITIK WARGA NEGARA DALAM KONTESTASI PEMILUKADA (Putusan MK No 33/PUU-XIII/2015)

             Baru saja, Rabu, 8 Juli 2015, Mahkamah Konstitusi memutus perkara register nomor 33/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Pasal 7 huruf r dan s  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Dalam permohonan a quo, Pemohon adalah putra (anak kandung) dari Bupati Gowa, Sulawesi Selatan. Pemohon merasa hak konstitusionalnya "berpotensi" dirugikan dengan berlakunya Pasal 7 r dan s mengenai syarat menjadi kepala daerah. Fokus pembahasasn dalam tulisan kali ini adalah terkait dengan Pasal 7 huruf r yang dibatalkan oleh MK melalaui putusan a quo.

          Adapun Frasa dalam Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, menyatakan:

“tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”; 

Penjelasan Pasal 7 huruf r:

Yang dimaksud dengan “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan”.

Mahkamah Konstitusi kemudian memutus yang dalam amar putusannya menyatakan 

"Pasal 7 huruf r beserta Penjelasan Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 149 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5678) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;"
Dengan demikian ketetntuan Pasal 7 huruf r tersebut dibatalkan dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Keterangan Presiden dan DPR
Dalam jalannya persidangan Mahkamah, Presiden dan DPR memberikan keterangan yang pada pokoknya memiliki kesamaan. Keterangaan dimaksud memberikan penjelasan historis mengenai kemunculan Pasal a quo dalam UU Pemilukada dimaksud.

Presiden dalam keterangannya menyatakan,

"maksud pembentuk Undang-Undang mencantumkan ketentuan Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 adalah untuk menciptakan kompetisi yang fair antara calon yang berasal dari keluarga petahana (incumbent) dan calon lain sehingga dengan demikian akan tercegah berkembangnya apa yang dinamakan “politik dinasti” atau “dinasti politik”. Sementara itu, menurut  129 Presiden, politik dinasti tersebut tidak dapat dipisahkan dari konsep petahana (incumbent). Penjelasannya, menurut Presiden, adalah sebagai berikut: Pertama, karena petahana mempunyai akses terhadap kebijakan dan akses terhadap alokasi anggaran sehingga dapat memberikan keuntungan pribadi untuk memenangkan pemilihan kepala daerah atau memenangkan kelompokkelompoknya. Kedua, petahana secara alamiah memiliki berbagai fasilitas dan tunjangan yang melekat kepada dirinya sehingga, dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, fasilitas dan tunjangan itu melekat terus menerus. Ketiga, karena sedang menjabat maka petahana memiliki keunggulan terhadap program-program, terhadap kegiatan-kegiatan yang seluruhnya atau sebagian dapat diarahkan untuk memenangkan dirinya atau memenangkan dinastinya. Keempat, terkait dengan netralitas PNS di mana petahana mempunyai akses yang lebih besar untuk memobilisasi PNS guna memberikan dukungan yang menguntungkan dirinya. Atas dasar itu kemudian ditarik asumsi bahwa calon yang berasal dari keluarga petahana dan calon lain tidak berada dalam kondisi equal. Dengan kata lain, dalam asumsi pembentuk Undang-Undang, in casu pemerintah, maksud dari ketentuan yang memberikan pembatasan terhadap keluarga petahana itu adalah agar semua calon berangkat dari kondisi equal sehingga kompetisi berlangsung secara fair."

Kemudian dikuatkan dengan keterangan DPR yang menyatakan,

"dinasti politik telah marak terjadi di berbagai daerah. Menurut DPR, ada dua hal yang mendasari berkembangnya dinasti politik tersebut. Pertama, macetnya kaderisasi politik dalam menjaring calon kepala daerah yang berkualitas sehingga menciptakan pragmatisme politik dengan mendorong kalangan sanak keluarga kepala daerah untuk menjadi pejabat publik. Kedua, konteks masyarakat yang menjaga adanya kondisi status quo di daerahnya yang menginginkan kepala daerah untuk berkuasa dengan cara mendorong kalangan keluarga atau orang dekat kepala daerah untuk menggantikan petahana. Dengan demikian, menurut DPR, adanya pengaturan mengenai “dinasti politik” ini justru merupakan langkah progresif yang positif karena dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pengaturan demikian belum ada sehingga terjadilah dinasti politik di berbagai daerah."

Pendapat Mahkamah
Sementara Mahkamah dalam Pertimbangan Hukumnya berpendapat:

1. Pembatasan Hak Konstitusional Warga Negara

"pembentuk Undang-Undang sesungguhnya telah menyadari sejak semula kalau dengan rumusan       sebagaimana tertulis dalam Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 tersebut       berarti telah membuat pembatasan yang bersifat menghalangi hak konstitusional warga negara     dari kelompok tertentu, in casu warga negara yang terlahir dari atau mempunyai ikatan       kekerabatan dengan keluarga kepala daerah petahana (incumbent) karena perkawinan"

kemudian di alinea lain:

"Dengan demikian telah jelas bahwa, sesuai dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, syarat untuk dapat membatasi pelaksanaan hak asasi bukan semata-mata bahwa pembatasan itu harus dilakukan dengan Undang-Undang, sebagaimana dijelaskan oleh pembentuk Undang-Undang (DPR dan Presiden) dalam perkara a quo. Seseorang yang karena kelahirannya atau karena memiliki hubungan kekerabatan dengan kepala daerah petahana tidaklah mengganggu hak atau kebebasan orang lain jika hendak mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Demikian pula, dengan mencalonkan diri sebagai kepala daerah, hal ini pun tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral, agama, keamanan maupun ketertiban umum. Dengan demikian, alasan bahwa larangan itu hanya berlaku sementara, yaitu selama belum terlampauinya jeda satu periode masa jabatan sebagaimana diterangkan oleh DPR, tidaklah menghilangkan substansi pertentangan ketentuan a quo dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945."

2. Implementasi Norma (Dinasti Politik akibat lemahnya pengawasan)

“Lagi pula, Presiden mengakui bahwa ketentuan sebagaimana termuat dalam Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 tidak dibutuhkan sekiranya sistem pengawasan oleh Bawaslu, sistem pengawasan oleh inspektorat, maupun sistem pengawasan oleh BPKP telah berjalan dengan baik. Dengan demikian, problem yang sesungguhnya adalah tidak optimalnya mekanisme pengawasan terhadap kepala daerah petahana oleh institusi-institusi yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan. “

3. Right to be candidate

“Dengan demikian Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Memang benar bahwa tidak setiap pembedaan serta-merta berarti diskriminasi. Namun, dalam kasus a quo, tampak nyata kalau pembedaan tersebut dibuat semata-mata didasari oleh maksud untuk mencegah kelompok orang tertentu (in casu anggota keluarga kepala daerah petahana) untuk menggunakan hak konstitusionalnya (in casu hak untuk dipilih atau mencalonkan diri, right to be candidate) dan dilakukan dengan cara yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945,”.

4. Potensi Multi tafsir dari frasa tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”; 

“Menurut Mahkamah, dalam keadaan demikian Pasal 7 huruf r UU 8/2015 tersebut akan sulit dilaksanakan dalam praktik, khususnya oleh Penyelenggara Pilkada. Sebab, pemaknaan terhadap frasa “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” itu berarti diserahkan kepada penafsiran setiap orang sesuai dengan kepentingannya. Dengan kata lain, dapat dipastikan bahwa tidak akan ada kesamaan pandangan terhadap frasa “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”. Akibatnya, tidak ada kepastian hukum. Padahal, kepastian hukum terhadap penafsiran frasa “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” itu menjadi penentu hak seseorang untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah yang dijamin oleh Konstitusi. Dengan demikian, telah terang bahwa apabila Pasal 7 huruf r UU 8/2015 dimaknai terlepas dari penjelasannya pun, hal itu tetap bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak memberi kepastian hukum yang potensial merugikan hak konstitusional warga negara, in casu hak untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah;”

Dan dalam hal Penjelasan Pasal a quo:

“Bahwa, khusus terhadap Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015, Mahkamah memandang perlu untuk kembali menegaskan bahwa penjelasan dari suatu ketentuan Undang-Undang akan menjadi bertentangan dengan UUD 1945 jika ia memuat atau merumuskan norma baru”

Dalam putusan  a quo Mahkamah memberikan catatan:

“Bahwa, dengan seluruh pertimbangan di atas bukan berarti Mahkamah menafikan kenyataan di mana kepala daerah petahana (incumbent) memiliki berbagai keuntungan, sebagaimana dikemukakan oleh Presiden, sehingga karenanya penting untuk dirumuskan pembatasan-pembatasan agar keuntungan-keuntungan itu tidak disalahgunakan oleh kepala daerah petahana untuk kepentingan dirinya (jika ia hendak mencalonkan diri kembali), anggota keluarganya, kerabatnya, atau kelompok-kelompok tertentu yang dekat dengannya. Namun, pembatasan demikian haruslah ditujukan kepada kepala daerah petahana itu, bukan kepada keluarganya, kerabatnya, atau kelompok-kelompok tertentu tersebut. Sebab, keuntungan-keuntungan itu melekat pada si kepala daerah petahana sehingga kemungkinan penyalahgunaannya juga melekat pada si kepala daerah petahana.”
           
          Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mencoba menyimpulkan bahwa sebenarnya Mahkamah melalui putusan ini mengembalikan hak hak politik warga negara yang pada dasarnya memang dilindungi oleh konstitusi. Pulihnya hak politik dimaksud adalah hak untuk mencalonkan diri (right to be candidate) bagi setiap warga negara karena sesuai dengan prinsip persamaan di hadapan hukum. Dinasti politik memang persoalan yang perlu diselesaikan karena dapat menghambat jalannya proses demokrasi di Indonesia. Namun pertanyaannya, apakah ini menjadi permasalahan konstitusionalitas?. Mahkamah menegaskan bahwa sebetulnya ini persoalan implementasi norma yang ada di tataran aplikatif. Khusus mengenai hak politik, nyata-nyata hak tersebut menjadi hak mutlak bagi warga negara yang tidak dapat dibatasi dengan alasan hubungan darah. “tidak ada seorang pun yang bisa meminta untuk dilahirkan menjadi anak siapa dan bersaudara siapa”.
            Jika dalam praktiknya di Indonesia dinasti politik yang dibangun menimbulkan kerugian besar karena perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme, maka ini adalah menjadi pekerjaan rumah bagi Negara dalam hal ini Pemerintah untuk melakukan mekanisme kontrol/pengawasan yang baik. Dengan demikian maka jalannya proses demokrasi di Indonesia tetap berkjalan dengan baik tanpa ada yang diciderai kepentingan dan hak-haknya.  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar