Fenomena
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional memberikan dampak yang signifikan
bagi kehidupan sosial masyarakat. Semakin berjayanya liberalisme di bumi
nusantara perlahan memperlebar jarak antara kaum elit dengan masyarakat
marjinal. Dominasi ekonomi kalangan pengendali kian hari kian terasa,
masyarakat miskin seolah tidak memiliki ruang sedikitpun untuk dapat hidup
sejahtera. Jumlah masyarakat miskin saat ini mencapai 29,2 juta jiwa[1],
jumlah yang besar tentunya dan menjadi permasalahan nasional yang harus segera
diselesaikan.
Ketidakseimbangan perekonomian ini
pada akhirnya berimbas kepada permasalahan politik dan hukum. Ketidakberpihakan hukum kepada masyarakat
miskin semakin kentara bilamana keadilan beradu antara dua kutub yang berbeda.
Hukum seolah tidak berdaya apabila berhadapan dengan uang dan kekuasaan. Ironi
yang lama-lama bisa menjadi identitas bangsa ini benar-benar melenyapkan
keadilan yang menjadi impian masyarakat miskin. Benar adanya bahwa keadilan yang
dimaksud adalah keadilan sosial sebagai nilai utama tertinggi dalam struktur
dasar masyarakat[2].
Idealnya,
hukum dalam hal ini adalah berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan
sosial[3].
Namun pada kenyataannya di Indonesia saat ini, hukum hanya menjadi sarana
penguasa untuk melanggengkan kekuasaan dengan tidak meratanya keadilan di
masyarakat sebagai salah satu tujuan hukum itu sendiri. Law enforcement atau penegakkan hukum secara prosedural sebetulnya
sudah diterapkan, akan tetapi sayangnya keadilan secara substansi tidak jarang
jauh dari harapan, terutama bagi masyarakat miskin. Pengadilan seringkali hanya
kaku dalam teks tanpa bersedia menggali konteks daripada aturan hukum itu
sendiri. Penyelesaian kasus pencurian kakao oleh seorang nenek dan sandal jepit
oleh seorang bocah menjadi bukti bahwa hukum masih belum menempatkan diri di
posisi yang ideal bagi masyarakat miskin.
Hukum yang baik seharusnya responsif
dengan kebutuhan sosial. Hukum yang baik, menawarkan sesuatu yang lebih dari
keadilan prosedural, harus juga berkompeten dan juga adil, hukum semacam itu
seharusnya mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen bagi tercapainya
keadilan substantif[4]. Liberalisme
yang berkembang membuat kesenjangan antara kaum pemodal dengan kaum miskin
semakin kentara. Mencari bentuk hukum yang pas dengan perkembangan sosial dan nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia
menjadi solusi yang bijak demi tercapainya keadilan bagi masyarakat miskin.
Hukum dalam hal ini sebaiknya tidak hanya diartikan sempit dalam ruang
undang-undang saja, perlunya semangat pembebasan dalam menerapkan hukum menjadi
harapan guna menyejahterakan masyarakat. Penerapan hukum yang biasa disebut
Hukum Progresif ini tidak ingin terjebak dalam cara berhukum yang statis[5].
Dengan demikian, gejolak yang
terjadi dalam kehidupan sosial serta merta mempengaruhi penegakan hukum yang
ada. Hukum harus ditegakkan dengan tanpa pilih kasih, karena pada prinsipnya,
masyarakat miskin memiliki hak yang sama dengan masyarakat lain di hadapan
hukum (equality before the law),
sehingga masyarakat miskin dapat benar-benar dapat menikmati sekantung beras
dan keadilan.
[1] http://www.bps.go.id/?news=940.
[2] John Rawls dalam Bur Rasuanto, Keadilan Sosial, Jakarta:PT
Gramedia Pustaka Utama, 2005, hlm.20.
[3] Soedjono dirdjossiworo. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hlm 154-155.
[4] Philip Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Bandung,
Nusa Media, 2010, hlm. 84.
[5]
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif:Sebuah
Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta:Genta, 2009, hlm.106.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar