Selasa, 01 Maret 2011

calon perseorangan dalam pilkada

Kelemahan Sistem perpolitikan dengan adanya Partai Politik
Di sisi lain, pada  prinsipnya dalam sistem perpolitikan di Indonesia, partai politik merupakan salah satu unsur infra struktur pembentuknya, adapun yang yang termasuk dalam infra struktur politik ialah segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang dalam aktivitasnya dapat mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak, kepada lembaga-lembaga kenegaraan dalam menjalankan fungsi serta kekuasaannya masing-masing. Infra struktur tersebut terdiri atas 5 (lima) komponen atau unsur, yaitu:
1.      Partai politik
2.      Golongan kepentingan
3.      Golongan penekan
4.      Alat komunikasi politik
5.      Tokoh politik[1]
Perubahan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan solusi yang paling tepat. Perubahan harus secara tegas dan eksplisit mencantumkan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh rakyat merupakan bagian dari pemilihan umum lokal[2].
Dari pemikiran diatas, menurut penulis ada pertimbangan yang menjadi tolak ukur mengapa calon perseorangan diberi kesempatan untuk mengikuti Pilkada langsung di daerah-daerah. Hal ini dapat dipelajari melalui gejala sosial yang terjadi sesuai dengan konsep hukum progresif, sehingga pada akhirnya dapat disimpulkan apakah proses penetapan peraturan mengenai calon perseorangan sudah demokratis ataukah belum.
Pertimbangan yang dimaksud dalam penulisan ini adalah sisi negatif dari sistem Pilkada langsung yang pada awalnya hanya dikuasai oleh partai politik. Dominasi ini memiliki kekurangan yang mendorong ide di masyarakat untuk memunculkan calon perseorangan non partai politik sebagai perwujudan demokrasi yang sesungguhnya.
Adapun sisi negatif yang pertama, Pilkada dalam era liberalisasi politik dengan kekuatan partai politik yang masih dominan, memungkinkan sekali yang bisa bertempur di sana adalah mereka yang memiliki kapital ekonomi dan politik yang kuat. Para pengusaha yang sekaligus dekat dengan partai politik, atau para incumbent yang kaya, adalah yang paling besar mendapatkan peluang masuk dalam bursa pencalonan Pilkada. Jadi bukan figur-figur yang kompeten dalam kacamata kepemimpinan modern yang bisa masuk di sana, tetappi justru mereka yang berkategori orang-orang kaya yang berpeluang besar ikut masuk dalam bursa Pilkada. Sementara orang-orang kaya itu, dulu adalah yang justru selalu menjadi bagian dari objek kebijakan pemerintah. Artinya, mereka yang selalu diatur, yang didisiplinkan dan ditata dalam menjalankan kegiatan bisnisnya. Tetapi sekarang, mereka adalah yang akan tampil sebagai pengatur. Sisi inilah yang merupakan salah satu aspek kelemahan yang menonjol.
Kapitalisme politik, dalam kerangka menyempurnakan kapitalisme ekonomi, kemungkinan akan menemui momentumnya, dan di kemudian hari tidak mustahil akan menjadi problem baru. Hal ini senada dengan teori ‘MPM’ atau Money-Power-More Money. Teori ini mengingatkan akan arti pentingnya pengaruh kapital dalam proyek demokrasi yang ujung-ujungnya kelas menengah yang diuntungkan. Di titik itulah kewaspadaan publik tetap harus terjaga, agar Pilkada yang agak berbau kapitalistik ini tidak menimbulkan ekses melunturnya interest kepala daerah ke publik.
Kedua, Pilkada langsung memang bisa melahirkan problem kelembagaan baru yang disuatu titik nanti bisa menodai demokrasi lokal. Itu terjadi karena kepala daerah yang dihasilkan dari sistem Pilkada langsung posisinya akan semakin kuat, begitu pula dalam hal legitimasinya[3].
Dari analisa hukum progresif, kesemua penjabaran diatas sudah menjawab bahwa munculnya calon perseorangan dalam pilkada sudah cukup demokratis, karena perkembangan hukum baik secara normatif maupun sosiologis benar-benar menuntun lahirnya ide tersebut. Karena dalam kaidah hukum progresif itu sendiri memang menitik beratkan kepada proses berkembangnya hukum, sehingga produk yang dihasilkannya merupakan hasil kolaborasi dari berbagai macam konsep dan unsur. Walaupun akhirnya kadangkala muncul persepsi melemahnya kekuatan hukum itu sendiri. Istilah “Laws can influence, but never determine, such processes[4], nampaknya juga membuktikan bahwa perkembangan hukum progresif secara tidak langsung juga tumbuh berkembang di negara lain. Dengan demikian, calon perseorangan di pilkada langsung menunjukan eksistensi demokrasi deliberatif yang seiring harmonis dengan hukum progresif di Indonesia.


[1] Sri Soemantri, Sistem-sistem Pemerintahan Negara-negara Asean, Bandung:Tarsito,1976, hlm.4
[2] Ibnu Tricahyo, Menuju Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal, Malang: In-Trans Publishing,2009,  hlm.148
[3] Amirudin dan  A. Zaini Bistri, Pilkada Langsung (Problem dan Prospek), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hlm 29-31.
[4] Dieter Grimm, Integration by constitution, Int J Constitutional Law (May 2005) 3 (2-3): 193-208. doi: 10.1093/icon/moi014, http://icon.oxfordjournals.org/content/3/2-3/193.full.pdf+html,, Senin, 3 Januari 2011, 20:20 wib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar