Korupsi
kian hari menjadi kata yang familiar kita dengar. Kasus-kasus hukum yang
seringkali menjadi pemberitaan media tidak lain tidak bukan adalah kasus
korupsi. Korupsi menjadi pekerjaan rumah yang belum juga berhasil dirampungkan
secara tuntas. Korupsi juga seolah-olah menjadi kultur, karena lambat laun
telah menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh pribadi-pribadi yang tidak
bertangggung jawab di negeri ini. Dari masa ke masa korupsi telah menjadi momok
bagi ide-ide pembangunan bangsa. Kesejahteraan rakyat yang menjadi cita-cita
pembangunan bangsa menjadi sulit terwujud akibat praktik-praktik korupsi baik
yang dilakukan elit negeri bahkan sampai ke jajaran bawah pemangku jabatan.
Rakyat saat ini menjadi tergerogoti haknya, hak untuk menikmati hasil kekayaan
dan hidup layak, semua itu terjadi karena praktik korupsi yang dilakukan oleh
oknum-oknum yang serakah.
Menurut
data Transparency International yang
mengukur Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia di Tahun 2014, Indonesia menempati
peringkat 107 dari 175 negara. Peringkat Indonesia masih berada di bawah
rata-rata IPK negara-negara di kawasan ASEAN, Asia Pasifik, dan Komunitas G
20. Di ASEAN,
Indonesia masih kalah dibanding Malaysia (peringkat 52),
Singapura (peringkat 98), Thailand (peringkat 38), dan Filipina (peringkat
38). Berdasarkan data tersebut dapat kita pahami bahwa permasalahan
korupsi ternyata masih menjadi pekerjaan rumah bagi kita bersama untuk
menyelesaikannya.
Persoalan
korupsi sebetulnya bukan hanya menjadi “local
issue” di Indonesia saja, akan tetapi sudah sejak lama menjadi perhatian
dunia. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pembukaan Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa mengenai Korupsi tahun 2003 (UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST
CORRUPTION, 2003) yang menyatakan, “Negara-negara
Peserta Konvensi ini prihatin atas keseriusan masalah dan ancaman yang
ditimbulkan oleh korupsi terhadap
stabilitas dan keamanan masyarakat, yang melemahkan lembaga-lembaga dan
nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta mengancam
pembengunan berkelanjutan dan supremasi hukum.” Kemudian di paragraf lain
meyatakan, “Meyakini, bahwa korupsi tidak
lagi merupakan masalah lokal, melainkan suatu fenomena transnasional yang
memengaruhi seluruh masyarakat dan ekonomi yang mendorong kerjasama
internasional untuk mencegah dan mengontrolnya secara esensial”.
Pesan
yang dapat kita tangkap dari kutipan bunyi paragraph pembukaan diatas adalah
betapa seriusnya dunia dalam hal menyelesaikan permasalahan korupsi yang nyata-nyata
telah menjadi hambatan besar bagi pembangunan dunia. Maka dari itulah korupsi
masuk dalam kategori (extra ordinary
crime) atau kejahatan luar biasa. Ada beberapa alasan yang mendasari
korupsi menjadi kategori kejahatan luar biasa. Tiga alasan yang mendasari hal
tersebut adalah:
Pertama,
korupsi di Indonesia sifatnya transnasional. Yang
terjadi dalam praktiknya, koruptor Indonesia banyak yang mengirim uangnya ke
negara lain sehingga tentu saja dibutuhkan koordinasi antarnegara untuk menyelesaikan
permasalahan ini.
Kedua, pembuktian korupsi di Indonesia membutuhkan
usaha ekstra keras. Seperti diketahui, 50 persen kasus korupsi bentuknya
penyuapan. Koruptor menyuap tak mungkin menggunakan tanda terima atau kuitansi
sehingga secara hukum, pembuktiannya cukup sulit.
Ketiga, dampak korupsi itu luar biasa. Misalnya dari
sektor ekonomi, hutan Indonesia di luar negeri mencapai Rp 1.227 tiliun. Hutang
ini dibayar tiga tahap, 2011 - 2016, 2016 - 2021, dan 2021 - 2042.
"Masalahnya apakah kita dapat melunasinya pada 2042? sementara menjelang
tahun itu banyak timbul hutang-hutan baru dari korupsi baru.
Indonesia dari
masa ke masa telah melewati beberapa upaya dalam hal pemberantasan korupsi ini,
baik pencegahan atau pun penyelesaian kasus-kasusnya. Momentum pemberantasan
korupsi terjadi di era pasca reformasi yaitu dengan dibentuknya sebuah Komisi
Pemberantasan Korupsi pada tahun 2002. Komisi Pemberantasan Korupsi Republik
Indonesia (biasa disingkat KPK) adalah lembaga negara yang dibentuk
dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen dan bebas dari
pengaruh kekuasaan manapun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Komisi ini
didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK berpedoman
kepada lima asas, yaitu: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas,
kepentingan umum, dan proporsionalitas. KPK bertanggung jawab kepada publik dan
menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK.
Selama kurun
waktu tersebut, sudah banyak kasus-kasus korupsi yang diselesaikan oleh
KPK dan telah melibatkan berbagai pihak
dari berbagai kalangan. Dengan berpegang teguh pada Undang-Undang, KPK tidak
pandang bulu dalam upaya-upaya memberantas korupsi di Indonesia. Sesuai dengan
hukum positif di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagai pedomannya. Ketentuan dasar terkait dengan
pemberantasan korupsi tersebut dapat dilihat dalam Pasal .. Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan, “Setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara”.
Berdasarkan pasal tersebut dapat
dilihat jelas bahwa unsur-unsur dari tindak pidana korupsi adalah:
1. Setiap orang;
2. Melawan hukum;
3. Memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi;
4. Merugikan keuangan negara atau perekonomian
Negara;
KPK
tentunya tidak berjuang sendirian dalam hal pemberantasan korupsi, seluruh
lapisan juga ikut berperan dalam upaya dimaksud. Mahkamah Konstitusi pun tidak tinggal diam
dan turut serta dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Tentunya
Mahkamah Konstitusi “bicara” dan
bertindak melalui putusannya yang menjunjung tinggi rasa keadilan. Dalam
perjalanannya, Mahkamah Konstitusi telah memutus beberapa perkara yang ada
kaitannya dengan pengujian Undang-Undang terkait korupsi baik 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Kita ingat pada tahun 2009 MK pernah memutus perkara
Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang dimohonkan oleh Chandra-Bibit selaku pimpinan KPK. Dalam amar
hukum putusan perkara nomor 133/PUU-VII/2009 tersebut MK menyatakan bahwa pasal
terkait dengan pemberhentian pimpinan KPK tersebut bertentangan dengan UUD 1945
sehingga Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon. Lebih spesifik pesan yang
disampaikan MK dalam pertimbangan hukum putusan a quo adalah sebagai berikut: “Bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenang yang luar biasa tersebut
diperlukan karakter Pimpinan KPK yang luar biasa pula yakni memiliki
integritas, jujur, akuntabel, transparan, dan menjunjung tinggi hukum. Hal ini
dapat dilihat pada tahap seleksi calon Pimpinan KPK yang sangat ketat oleh
panitia seleksi yang terdiri atas unsur pemerintah dan masyarakat yang
independen (vide Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31 UU 30/2002). Untuk
efektivitas tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya, KPK diposisikan oleh
Undang-Undang sebagai lembaga negara yang independen dan bebas dari kekuasaan
manapun (vide Pasal 3 UU 30/2002). Karakter sebagai lembaga yang independen
inilah yang memungkinkan KPK dapat menjalankan fungsi sebagai “trigger
mechanism” yakni sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam
pemberantasan korupsi, yakni kepolisian dan kejaksaan (vide Penjelasan Umum UU
30/2002);”
Bicara
soal penegakkan hukum di Indonesia, maka tidak bisa dipisahkan dari pembahasan
mengenai sistem penegakkan hukum itu sendiri. Lawrence M Friedmann menjelaskan bahwa dalam hal penegakkan hukum
harus memperhatikan 3 (tiga) hal pembentuk sistem hukum itu sendiri, yaitu Pertama, struktur hukum sebagai pola yang memperlihatkan tentang bagaimana
hukum itu dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya. Struktur ini
memperlihatkan bagaimana pengadilan, pembuatan hukum dan lain-lain badan serta
proses hukum itu berjalan dan dijalankan. Kedua, Substansi hukum, yaitu
peraturan-peraturan yang dipakai oleh para pelaku hukum pada waktu melakukan
perbuatan-perbuatan serta hubungan-hubungan hukum. Ketiga, kultur hukum, yaitu kesadaran hukum dan
budaya hukum masyarakat. Dari ketiga komponen tersebut, yang utama bagi
Friedman adalah komponen kultur hukum, karena komponen inilah yang menjadi
dasar sosiologis yang memberikan kualifikasi terhadap kedua komponen lainnya,
yaitu struktur dan substansi.
Korupsi,
saat ini seolah-olah telah menjadi “kultur” negatif di Indonesia, oleh karena
itu maka kita akan mengaitkan kepada nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat
antara korupsi dengan perspektif publik tentang korupsi itu sendiri, karena menurut Prof. Satjipto Rahardjo hukum itu bukan
hanya bangunan peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita. Budaya penegakkan hukum tentunya tidak
dapat dipisahkan dengan perkembangan pola perilaku yang ada di masyarakat.
Berkaitan dengan korupsi, kultur ini sebenarnya perlu ditangani dengan
pendekatan preventif dan juga penaggulangannya.
Upaya
preventif ini menjadi tanggung jawab kita bersama, baik praktisi maupun
akademisi. Budaya antikorupsi setidaknya dapat menjadi solusi dalam rangka pencegahan
tumbuh kembangnya pemahaman yang salah tentang korupsi. Pemahaman tentang
korupsi sebagai kejahatan harus sudah ditanamkan sejak dini. Oleh karena itu
maka sudah sepantasnya juga bila pendidikan antikorupsi ini digalakkan sejak
dari bangku sekolah. Hal demikian menjadi penting karena pemuda adalah masa
depan bangsa. Generasi adinda sekalianlah yang kelak akan memimpin bangsa ini
di masa datang. Mentalitas yang baik, jujur dan bersih inilah yang wajib
dimiliki oleh para pemuda saat ini. Pemuda
adalah tulang punggung peradaban. Kemajuan dunia sangat erat berkaitan dengan
sosok pemuda. Pernah suatu
waktu, presiden pertama NKRI, Ir. Soekarno berbicara pada golongan pemuda waktu
mereka berembuk untuk mempersiapkan kemerdekaan negeri ini. Sambil
bergurau beliau berkata: “Berikan
kepadaku 10 pemuda seperti Anda, hai Syahrir, maka akan kuubah jalannya sejarah
dunia ini”. Lain waktu beliau juga berujar : “Seribu orang tua hanya dapat bermimpi, satu orang pemuda dapat mengubah
dunia.” Hal tersebut membuktikan betapa vitalnya peranan pemuda sebagai
masa depan bangsa. Ide tentang perubahan dan perbaikan bangsa selalu muncul
dari pemuda-pemuda berkarakter dan memiliki semangat menggelora dalam membangun
bangsa.
Khusus, kaitannya dengan antikorupsi, kampus
atau sekolah sekalipun sudah semestinya difungsikan sebagai “ladang pemikiran” yang kemudian hari
buahnya dapat dinikmati bersama. Kampus dan sekolah menjadi tempat tumbuhnya
pola pikir antikorupsi sehingga ketika lulus dari pendidikan formil maka adinda
sekalian akan menjadi professional-profesional yang memiliki integritas, jujur
dan bersih. Saat ini peran pemuda dalam kampanye antikorupsi cukup besar.
Banyak organisasi masa, kelompok sosial, dan komunitas-komunitas yang dimotori
oleh para pemuda muncul dalam pergerakan melawan korupsi.
Akan tetapi perlu kita sadari bersama memang
tidak mudah menanamkan pemahaman anti korupsi terhadap pemuda Indonesia karena
banyak juga pemuda yang kurang peduli, acuh tak acuh terhadap permasalahan
korupsi. Hasil survei Integritas
Anak Muda 2013 yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia pada
Juli-Desember 2012, menyatakan bahwa di Jakarta, 60% anak muda tak mau
mengadukan korupsi yang diketahuinya dan 40% anak muda merasa korupsi bukan
urusan mereka. Hal ini cukup memberikan gambaran bahwa sebagian besar anak muda
masih memandang sebelah mata terhadap isu korupsi. Bahkan boleh jadi sebagian
diantaranya merasa bahwa korupsi adalah hal biasa yang dilakukan dan terlalu
naif jika menyuarakan perlawanan terhadap korupsi. Pola pikir seperti ini tentu
saja harus dihilangkan dari pemikiran para pemuda karena bisa berbahaya dan
berlawanan terhadap peran pemuda sebagai agent of change (agen perubahan).
Dari kesemua
uraian yang saya sampaikan, maka dapatlah kita simpulkan bersama bahwa korupsi
ini adalah bahaya bagi negeri ini yang
harus kita tangkal. Upaya pemberantasan korupsi tidak hanya menjadi tanggung
jawab pemerintah melalui KPK saja, Lembaga Peradilan atau lembaga perwakilan
sebagai pembentuk Undang-Undang saja, akantetapi juga tanggung jawab kita
bersama. Pemahaman antikorupsi haruslah sudah dipahami dan diamalkan oleh
seluruh lapisan masyarakat dan terutama seluruh pemuda Indonesia. Untuk itu
melalui acara ini diharapkan peserta dapat benar-benar memahami sikap antikorupsi
dan kemudian pemuda dapat menjadi agen perubahan yang kelak juga akan menjadi
pemimpin pemimpin bangsa yang berkarakter dan memiliki perspektif anti korupsi
yg baik serta berintegritas.
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut